Tibalah kami dihari terakhir di kota Solo.
Jadwal kepulangan kereta Argo Wilis eksekutif tepat pukul 16.51, dan check out hotel pada pukul 12.00. Jadi sebelum waktu tersebut, kami harus menghabiskan waktu dengan rencana berbelanja oleh-oleh. Mas husband langsung browsing dimana tempat yang tepat untuk berbelanja, request saya tempat yang murah dan berkualitas.
Selesai sarapan, kami bergegas keluar hotel. Do'i memanggil becak untuk mengantar kami ke Pasar Gede.
Pasar Gede? Perasaan saya jadi tidak enak.
Daaan,, wkwkwkwkwk,, benar saja. Do'i salah perkiraan. Do'i mengira kalau pasar gede ini juga menjual batik-batik asli Solo, karena saat tour dengan bus Werkudara kemarin kami melewati pasar ini dan mbak tour guide menjelaskan kalau pasar ini merupakan pasar satu-satunya yang masih kuno dan masih beroperasi hingga sekarang. Rupanya pasar gede hanya menjual buah dan sayuran serta bahan pokok lainnya... hahahaha.
Foto dulu, buat kenang-kenangan xixixixi |
Dalam hati bingung mau ketawa cekikian atau harus merasa nelongso karena waktunya terbuang percuma. Tarik napas dalam-dalam, akhirnya saya bisa membuat hati jadi cool dan langsung nggandeng mesra tangan suami. Yuk jalan saja.
Disela perjalanan, do'i bertanya pada penduduk sekitar, jika mau membeli batik Solo disekitar sini harus kemana. Kami diarahkan ke Pusat Grosir Batik Solo dekat Galabo. Lho, itu kan dekat banget sama hotel tempat kami menginap. Akhirnya saya tak bisa tahan, saya ketawa cekikian sendiri. Do'i memutuskan tidak memanggil becak, kami berjalan kaki ke pusat grosir agar lebih hemat. Nelongso lah saya jadinya, capek, sumuk, panas matahari... Oh...
Tapi ya ngga apa, trotoar jalan Solo lebar dan masih bersih, enak kalau dibuat jalan. Kemudian kami melewati Balai Kota Surakarta, mampirlah kami kesana. Kebetulan ada acara di balai kota, nampaknya mahasiswa lah yang sedang punya gawe. Tak apa, kami hanya numpang foto, ke kamar mandi dan sholat dhuha.
Mengapa Balai Kota Surakarta? Mengapa bukan Balai Kota Solo? Atau Mengapa bukan Balai Kota Sala (mirip dengan prononsi kata noto)? Masih terkait dengan sejarah kota ini, silahkan browsing di mbah google. Penamaan ini juga bisa kita kaitkan dengan nama "Yogyakarta" yang terbiasa disebut orang "Jogja".
Apapun sebutannya, itu hanyalah sebuah nama. Jika lebih percaya apa kata dunia, boleh kita sebut Solo, karena nama tersebut sudah lebih mendunia ketimbang Sala maupun Surakarta. Atau sebutlah panggilan Surakarta karena terdengar lebih ke nuansa ke-kraton-an. Kalau saya lebih menyukai nama Sala karena identik dengan sejarahnya, yakni desa Sala yang bertempat di tepi sungai Bengawan.
Usai dari balai kota, kami melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi kami disuguhkan pemandangan bangunan tempo dulu yang di remake mengikuti style bangunan jaman now namun tidak menghilangkan unsur ke-tempoe doeloe-annya. Cantik-cantik bangunannya... Ini dia foto bangunan yang dapat saya abadikan dengan kamera smartphone.
Akhirnya, sampai juga di Pusat Grosir Solo, yang bersebelahan dengan Pasar Beteng Solo. Kami langsung masuk ke pasar dan berburu oleh-oleh. Setelah uang habis #ehh setelah selesai berbelanja, kami langsung cuss balik ke hotel, jalan kaki, lha wong hotelnya ada dibalik pasar hiks hiks hiks.
Rupanya waktu masih menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat (walau mataharinya terasa seperti sudah bertengger diatas kepala). Kami leyeh-leyeh di hotel, kemudian packing dan persiapan check out.
Mas husband dan saya masih terasa ada yang mengganjal. Ada dua destinasi di Solo yang kemarin tidak bisa dikunjungi, kami merasa sayang banget sudah ke Solo tapi melewatkan berkunjung ke dua tempat tersebut. Lalu kami berencana menghabiskan sisa waktu ke Masjid Ageng Surakarta untuk sholat dhuhur dan berkunjung singkat ke Kraton Surakarta setelah check out.
Bersyukur pihak hotel bersedia dititipi koper dan barang-barang kami, sementara kami pergi ke dua destinasi tersebut dengan berjalan kaki -- lebih dekat dan hemat.
Karena adzan dhuhur sudah berkumandang, kami memutuskan tujuan pertama kami adalah menuju Masjid Ageng Surakarta. Jika kemarin kami hanya bisa melihat halaman masjid, maka hari ini kami harus bisa menikmati bersujud didalam masjid yang berarsitektur kuno ini.
Jika saya tidak salah, saya melihat masjid terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah bagian inti, dimana tempat mimbar dan jamaah pria bisa melaksanakan sholat disana. Bagian kedua adalah sayap kanan bagian inti, tempat jama'ah pria mengambil wudhu. Bagian ketiga adalah sayap kiri bagian inti, yang dibagi lagi menjadi dua : kamar mandi plus tempat wudhu jama'ah wanita dan tempat sholat jama'ah wanita. Sementara bagian keempat adalah pelataran masjid.
Mas husband mengajak untuk sholat berjamaah di pelataran masjid. Alhamdulillah... Saya selalu lega bisa berjama'ah dengan do'i jika melaksanakan sholat ditempat umum. Beginilah foto dalam masjid yang diabadikan oleh mas husband.
Bagian inti (atas). Pelataran masjid (bawah). |
Dari masjid, kami langsung bertolak ke Kraton Surakarta.
Pasar di pelataran kraton beroperasi kembali. Tergiur dengan aroma batagor siomay yang dijual dipelataran, alhasil kami duduk santai dulu dan mas husband membelikan satu porsi untuk berdua. Bukan biar berhemat, melainkan biar romantis, karena seringnya saya tidak bisa menghabiskan porsi makanan, dan sering pula mas husband yang menghabiskan, ngga heran, do'i yang sekarang terlihat jauuuhh lebih sehat daripada ketika bujang dulu kala xixixi.
Setelah selesai makan batagor siomay (yang nikmat buanget ini), kami lanjut masuk kedalam. Daaan singkat cerita : ZONK !. Kraton Surakarta belum boleh dikunjungi oleh wisatawan. Dari keterangan yang disampaikan pak satpam, sudah seminggu lebih kraton ditutup, karena didalamnya ada urusan kerajaan yang belum terselesaikan. Baiklah, kami pulang saja -- jalan kaki.
Teringat pesan Ibu saya dan Bude (kakak ipar Ibu) yang merupakan wanita Solo asli : kalau ke Sala tidak makan nasi liwet, rasanya ada yang kurang. Tercetuslah kami akan makan siang dengan menu nasi liwet. Kami harus menemukannya. Dan sepertinya saya kemarin melihat di perjalanan pulang dari kraton ke hotel, ada yang berjualan nasi liwet deh. Tapi kenapa hari ini kami menyusuri jalanan yang sama dengan berjalan kaki tidak menemukan warung nasi liwet tersebut. Hufth. Lagi-lagi zonk deh..
Kami mengambil koper dan barang-barang yang dititipkan di resepsionis hotel. Sambil menunggu taksi online tiba, mas husband browsing tempat nasi liwet khas Solo dan menemukan satu tempat : Nasi Liwet Bu Wongso di jalan Teuku Umar. Yes, kami kesana.
Pak supir taksi online datang kemudian mengantarkan kami ketempat yang kami minta. Namun setelah sampai ditempat, rupanya tempat makannya tutup. Ada kertas yang ditempel didepan pintu warungnya. Kertasnya berjudul Lelayu, dan berisi beberapa kalimat menggunakan Bahasa Jawa Krama Alus yang saya hanya sedikit mengerti arti katanya, sementara mas husband sama sekali tidak tau. Agar lebih yakin, saya bertanya pada pak supir dan beliau menjelaskan memang benar ada salah satu anggota keluarga Bu Wongso yang meninggal dunia.
Tarik napas panjang, lalu hembuskan. Hufftt, oke. Sembari mengecek smartphone nya, mas husband bertanya pada pak supir, dimana tempat makan nasi liwet dekat sini. Pak supir menjawab tidak ada, tapi didekat sini ada restoran yang memiliki menu khas Solo, barangkali kami menemukan nasi liwet disana. Baiklah, kami menuju ke restoran tersebut.
Rupanya restoran ini berdekatan dengan Night Market Mangkunegaran yang kemarin malam kami kunjungi. Dan kemarin malam saya mbatin : jangan kesini ah, makanannya mahal-mahal pasti, melihat arsitekturnya mewah nan kuno begini.. Eeeh, malah siang ini kami makan siang disini..wkwkwk.
Nama restorannya : Omah Sinten Heritage Hotel & Resto. Aduh, suasananya bikin saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Restoran bagian luar, yakni rumah joglonya, memiliki arsitektur bergaya kuno sehingga banyak dilirik oleh wisatawan asing. Kebetulan meja kami bersebelahan dengan meja pengunjung berkewarganegaraan Eropa (sepertinya -- jika dilihat dari postur dan gestur tubuhnya). Tak hanya wisatawan asing, penduduk lokal juga turut memilih makan siang disini. Tempat ini juga menyediakan tempat dan fasilitas untuk acara-acara seperti reuni, kumpulan famili, atau acara lainnya yang ingin mengusung tema heritage.
Menu yang disediakan memiliki harga yang tidak terlalu mahal, untuk sekelas restoran heritage, harga yang ditawarkan lebih murah. Dan jangan sekali-sekali dibandingkan dengan harga heritage di Surabaya ya... Jaaauuuuhhhh~. Sayangnya tidak ada nasi liwet di buku menunya...
Nasi + Tengkleng Kakap dan Teh Poci OmahSinten (atas). Nasi + Tumis Kangkung Ja'i (bawah). |
Mas husband memilih menu Tengkleng Kakap (sudah termasuk nasi). Karena saya masih sariawan, saya hanya memesan Tumis Kangkung Ja'i (tanpa nasi) plus satu piring nasi. Untuk minumnya, kami memesan Teh Poci OmahSinten panas yang dikombinasi dengan gula batu. Bismillah.. Mari makan!
Alhamdulillah kenyang, dan nikmat, saking nikmatnya do'i embuh nasi lagi, hmmm. Kami membayar tidak sampai seratus ribu rupiah. Berikut perinciannya.
> Tengkleng Kakap (+nasi) : Rp 35.000,-> Tumis Kangkung Ja'i : Rp 20.000,-
> Nasi Putih (2x) : Rp 12.000,-
> Teh Poci OmahSinten : Rp 17.000,-
> Pajak + Service : Rp 10.000,-
Total : Rp 94.000,-
Sambil menurunkan makanan diperut, sambil menunggu taksi online datang. Taksinya datang, kami langsung cuss ke Stasiun Solo Balapan.
Dengan berakhirnya perjalanan di Solo, berakhir pula cerita perjalanan honeymoon saya. Semoga berkenan dengan ceritanya dan sampai jumpa di perjalanan honeymoon saya yang lain #ehh hehehe.
Tha thaa~
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.