Hayeyeyeeeiii,, saudara ku yang (hebat bangettt) satu ini Alhamdulillah menemukan tambatan hati (setelah mengalami alur drama percintaan yang berliku-liku) dan melepas masa lajangnya. Aku senangg bangeeettt.
Namanya Nur Aini, dipanggilnya Eni atau Entong (masih kurang paham plus ga percaya juga kenapa cantik-cantik begini dipanggil Entong - walau sudah diceritain asal usul nama Entong itu). Kalau ditarik garis keluarga, mbak Eni ini keponakan dari sepupu aku (namanya mbak Ida), jadi... mmm ga nyambung garis darah nya sih.. Tapi, yang namanya saudara itu ga melulu harus se-darah kan ^^. Aku dan mbak Eni adalah teman main sejak kecil. Waktu kecil kami sering bertemu di Keputran (rumah mbak Ida), eh besarnya justru sering bertemu di Ampel (rumah keluarga besar bapaknya mbak Eni dan ibunya mbak Ida). Nah, yuk kita beranjak ke love story mereka aja yuk.
BEHIND THE SCENE
BEHIND THE SCENE
Mbak Eni adalah perempuan asli Madura karena mengikuti keluarga sang ibu, jadi boyongan acaranya ada di Madura. Rumah keluarga mbak Eni berada di Perumnas Kamal, Bangkalan. Kalau dari Surabaya, via kapal lebih pendek jaraknya jadi lebih cepat sampainya.
Tapi, mas Ulum lebih memilih lewat jalur Suramadu |
Karena kami berangkat hari Kamis siang, sementara acara akad nikah dan resepsi berlangsung pada hari Jum'at dan Sabtu, kami berencana menginap dua malam di rumah mbak Eni.
Akad nikah direncanakan berlangsung di rumah mbak Eni, jadi segala sesuatunya dipersiapkan di rumah. Dengan dibantu oleh saudara-saudaranya, tante Tin dan om Solah (ibu dan bapaknya mbak Eni) mempersiapkan semuanya di rumah. Sesaat kami datang pun, di ruang tamu telah siap beberapa santri dari pesantren Ampel yang sigap membacakan lantunan ayat suci Al Qur'an tanpa melihat Al Qur'an nya (bagiku itu WOW). Jadi sepanjang hari Kamis, di rumah mbak Eni terdengar ayat-ayat suci Al Qur'an. Rasanya adem di hati ^^
Selain juga mempersiapkan rumah dan segala isinya, tante Tin juga mempersiapkan mbak Eni sebagai calon manten. Didatangkanlah seorang ibu yang bernama bu Ayu. Bu Ayu diminta untuk mentreatment mbak Eni, mulai dari lulur kemudian pijet kemudian treatment-treatment kewanitaan.
Setelah mentreatment mbak Eni, tidak sengaja aku curhat tentang kedua telapak tanganku yang warnanya belang karena kebetulan waktu itu bu Ayu membahas tentang produk yang dia bawa "rahasia kecantikan Surti asli Madura". Curhatanku lantas tidak dijawab oleh beliau, melainkan beliau mendadak menarik tangan dan lengan bajuku kemudian mencolek ramuannya dan mengoleskan ke telapak tangan kananku sampai siku. Dengan lihai bu Ayu menggosok-gosokkan ramuannya hingga warna telapak tanganku berubah menjadi coklat muda - kekuningan. Beliau menyuruhku menunggu sebentar. Selang beberapa detik, beliau memintaku untuk membandingkan warna telapak tangan dengan warna asli kulit tangan dan warna kedua telapak tanganku. "Apakah ada perubahan?", tanya beliau. Aku mengangguk pelan, menjawab iya sambil terus mengamati tiap centi warna kulitku. Mbak Eni, tante Tin dan bu Ayu lantas tertawa. "Ooo, noro buntek ini..", kata beliau sambil mengambil tangan kiriku dan mulai mentreatment sebagaimana tangan kanan di treatment.
Selain ahli dalam meramu ramuan untuk kecantikan wanita, bu Ayu ini juga pandai memijat. Aku adalah orang beruntung yang dipijatnya
Setelah memijat aku, kemudian giliran tante Tin kemudian Huda, dan orang yang terakhir dipijat beliau adalah Mama. Karena ruang tempat memijat kurang lega jika ditempati beberapa orang, akhirnya aku dan mbak Eni keluar dari kamar mbak Eni. Tetapi, aku tertarik untuk nimbrung di kamar (karena aku ga ngapa-ngapain -- semua pekerjaan sudah beres), ketika Mama dan bu Ayu tertawa terbahak-bahak sampai terdengar dari ruang tengah. Mereka tertawa terbahak-bahak dalam kondisi bu Ayu masih memijat Mama. Usut punya usut, eh ternyata bu Ayu pernah tinggal satu komplek sama Mama di Keputran, makanya kemudian Mama dan bu Ayu ini saling curhat dan langsung akrab. Mungkin itu sebabnya bu Ayu bisa tertawa terbahak-bahak begitu ya.
Rasa ingin tahuku yang bergelora membuatku sering bertanya ini dan itu. Huahahaha aku dianggap paling kecil disini - apalagi sama tante Tin, padahal ya ada Huda lho. Huda itu siapa lagi... Huda adalah adik laki-laki satu-satunya mbak Eni dan usianya lebih muda satu tahun dari aku.
Icha (keponakan tante Tin) dan Ica |
Orang-orang (saudara-saudara tante Tin, para santri dan beberapa bapak-bapak tetangga) masih melekan hingga jam 10 malam. Lewat dari jam 10 lebih, mereka berpamitan pulang ke om Solah dan rumah kembali sepi (hanya ada om Solah, tante Tin, kakaknya tante Tin, mbak Eni, Huda, Mama dan aku). Para santri yang membaca al Qur'an siang tadi disewakan rumah (pada rumah kosong tepat disamping rumah mbak Eni) dan tidur disana. Sementara saudara-saudara tante Tin kembali kerumah mereka masing-masing.
Walau rumah jadi sepi, rupanya mbak Eni tetap ga bisa tidur, beliau terkena insomnia mendadak, padahal besok acara akad nikahnya dimulai jam 8 pagi. Karena aku juga ga bisa tidur, jadi ya pas, waktu malam ini dipakai sebagai sesi curhat para gadis. Bisa dibilang ini malam terakhir single nya mbak Eni, besok beliau sudah menyandang predikat double deh huihuihui. Kami curhat dan curhat secara bergantian, sampai tidak terasa waktu menjelang pukul 1 malam. Kami beranjak tidur setelah kaget melihat angka jam dinding itu begitu cepat berputar.
AKAD NIKAH DI RUMAH
Tepat pukul 6 pagi tanggal 8 April 2016, mbak Susy selaku perias manten dan bu ... (lupa ga tanya namanya hikss) selaku perias kamar manten plus yang menyediakan pakaian untuk manten dan keluarga, datang ke rumah dan langsung sigap melakukan pekerjaannya. Makanan katering dan jajanan untuk para tamu yang dipesan oleh tante Tin pun juga mulai berdatangan. Saudara-saudara om Solah yang dari Ampel pun juga berdatangan beberapa menit kemudian. Rumah kembali ramai.
Mbak Ida, mbak Eni, aku ^^ sesaat sebelum berlangsungnya ijab kabul. |
Pelaksanaan akad nikah |
Tamu perempuan berada didalam rumah |
Pukul 8 lebih 17 menit akad nikah berlangsung. Setelah pembacaan ayat suci al Qur'an, om Solah membaca doa, sholawat nabi kemudian membaca Ijab dengan bahasa arab. Semua tamu dan undangan yang hadir menyimak dengan penuh hikmat. Termasuk aku, mbak Eni, mbak Susy dan ibu perias yang berada di dalam kamar.
Mas Nizar sang calon suami, menjawab Kabul dengan bahasa arab pula dengan sekali tarikan nafas. Beberapa detik setelah mas Nizar mengucap Kabul, suasana menjadi hening. Kemudian terdengar suara dari hadirin laki-laki mengucap Alhamdulillah bersahut-sahutan... Sekarang mbak Eni resmi jadi istri dan pendamping mas Nizar.
Alhamdulillah.. Sah..
Acara selanjutnya adalah ramah tamah untuk tamu dan undangan serta keluarga kedua belah pihak mempelai. Senyuman diantara mereka semua tidak pernah lepas dari wajah, senyuman kebahagiaan.
Sayangnya, aku tidak bisa turut ikut tersenyum hingga sore hari. Serangan dilep melanda perutku, ini pasti karena aku ga menjaga pola makan seminggu sebelumnya, membuatku harus rebahan dan sempat membuat semua orang khawatir. "Maafkan saya...", kataku dalam batin kala itu. Mama menanyaiku apakah aku siap untuk besok, jika tidak sebaiknya aku pulang ikut Bapak Ep (suaminya mama yang juga kakak dari bapakku). "Siap kok ma, ini dilepnya cuma berlangsung sehari aja, besok pasti sudah bisa loncat-loncat seperti biasa...". Mama mengiyakan aku dan menyuruhku untuk istirahat dulu. Sedih banget aku ga bisa ikut bantu-bantu, aku malah jadi beban disini, hiks.. Untung saja ketika adzan Ashar berkumandang, aku sudah bisa bangun dan bergerak. Tak kulewatkan kesempatan sedikitpun untuk membantu apapun setelah itu.
RESEPSI DI RATO EBU, BANGKALAN
Kalau kata tante-tante nya mbak Eni, "Sabar ya en, kamu dua hari ini jadi ratu, jadi yang sabar". Ya benar, selama dua hari mbak Eni jadi ratu! Dua kali mbak Eni memakai mahkota (sebut saja hiasan kepala) yang teramat sangat berat, dua kali wajah mbak Eni di make up sedemikian rupa (padahal mbak Eni memiliki kesamaan denganku : tidak suka merias/memakeup wajah) dan dua kali pula beliau memakai dress yang juga nampak berat. Untung sekali mbak Eni tidak sekurus tiga tahun yang lalu, jadi beliau bisa dan kuat menjadi ratu dua hari hihihi ^^.
Resepsi diadakan pada tanggal 9 April 2016 di Gedung Serbaguna Rato Ebu, Bangkalan Kota. Pagi hari, sekitar pukul 6 kurang, mbak Susy menelepon mbak Eni dan meminta untuk segera ke gedung. Waow, rupanya mbak Susy dan tim sudah stand by di gedung dari tengah malam. Patut diacungi jempol atas profesionalitasan mereka b^^d.
Mama meminta agar tante Tin, mbak Eni, mas Nizar dan aku untuk berangkat duluan ke gedung dengan diantar Huda,, setelah itu Huda kembali untuk menjemput Mama dan om Solah. Sementara menunggu dijemput, Mama dan om Solah mempersiapkan apa-apa yang kurang. Aku manut aja apa kata tetua. Tapi, setelah berada dijalan menuju ke gedung, diam-diam aku berubah pikiran. OMAIGAD, ternyata jauh juga jarak perumnas Kamal ke gedung Rato Ebu, kurang lebih delapan belas kilometer men, dan itu harus dikali tiga untuk Huda yang bolak-balik mengantar jemput kami. Tetapi perubahan pikiranku tidak merubah apapun, ketika Huda menyatakan kesanggupannya. Lagi-lagi aku lupa, kita bukan anak kecil lagi, Huda pun juga bukan lagi anak kecil yang manja dan periang seperti jaman dulu, dia kini berubah jadi laki-laki yang pemalu tapi nampak jelas terpancar dari dirinya bahwa dia adalah anak yang beragama, berpendidikan dan bisa dipasrahi tanggung jawab.
Aku jadi teringat curhatan mbak Eni dimalam sebelum hari akad nikah. Ketika akan dikenalkan oleh mas Nizar untuk kali pertama, mbak Eni saat itu masih berada di Pacet dalam rangka mendampingi mahasiswa yang sedang KKN disana. Om Solah dan Huda menuju Pacet untuk menjemput mbak Eni dan membawanya ke Surabaya, dan yang menyetir mobil adalah Huda. Padahal dihari sebelum menjemput mbak Eni, om Solah dan Huda baru pulang dari Jogja, yang menyetir Jogja-Kamal adalah Huda. Jadi, istilahnya mbak Eni pun salut pada adik laki-lakinya ini, jarak Jogja-Kamal-Pacet-Surabaya bukan jarak yang pendek, sementara Huda istirahatnya pun cuma sebentar. Hahaha, aku pun salut sama Huda, jempol empat dariku Hud bb^^dd. Tapi inget lho Hud, setop ya meng-ihi-ihi aku sama ex-klebun plat M...
Oke, sampailah kami di Rato Ebu. Ternyata Ibu dan Bapak mas Nizar sudah sampai lebih dulu dan menunggu kami untuk memasuki ruangan rias. Kami memasuki ruangan rias, disana sudah stand by mbak Susy dan tim, ada pula Desi (sepupu mbak Eni). Mbak Susy langsung me-make up mbak Eni. Seorang perempuan tidak berjilbab (tim rias mbak Susy) me-make up Desi dan seorang perempuan berjilbab yang juga bagian dari tim rias mbak Susy me-make up aku.
Satu jam lebih aku di make up, dipakaikan dress dan dipakaikan hijab. Wanita itu emang rempong ya. Mungkin karena kami (aku dan Desi) baru perkenalan dengan tim rias mbak Susy, jadi tim riasnya masih mengeksplor mana riasan yang cocok untuk kami dan pasukan nantinya, jadinya waktu yang digunakan lumayan lama. (Ellho, pasukan?). Yap pasukan. Tak lama setelah aku dipakaikan baju, rombongan dari keluarga Petukangan Ampel datang dan mengantri untuk dirias pula.
Satu jam lebih itu ternyata tidak mengecewakanku, riasan dan baju cocok sekali dengan aku, aku suka aku suka hehe. Tante-tante dari keluarga Ampel sampai berulang kali bilang, "Ini ica taahh?? Walahh.. Pangling aku, cek ayunee". Hihihi makasiya tante, setelah mendengar pujian tante, bolehkah aku berasumsi kalau sebelum di make up akunya ga cantik huhuhu...#dramaqueen banget deh.
Setelah perias selesai dengan aku dan Desi, kami menunggu Dhea (yang juga sepupunya mbak Eni dan Desi) selesai di rias. Lalu agar tidak memenuhi ruangan rias, kami bertiga menuju tempat tugas kami (dibelakang meja tamu) untuk mempersiapkan buku tamu dan souvenir.
Sekitar pukul 11, acara resepsi dimulai. Semua panitia berseragam selesai dirias dan siap diposisinya. Penjaga buku tamu harus meninggalkan meja tamu dan menjadi pengiring manten untuk memasuki gedung.
AH.. Aku suka sama nuansa turquoise gedung. Mulai dari dekor pelaminan, baju pengantin sampai baju penerima tamunya hihhihi.
Setelah manten naik ke pelaminan, sembari menunggu tamu dan undangan datang, kami pasukan berseragam diminta untuk foto-foto. Eumh eumh, dokumentasinya banyak pasti ini, satu persatu kamera mulai berdatangan menyorot kami dan mengabadikan kehebohan kami.
Tamu dan undangan mulai berdatangan, sesi foto-foto pun harus dihentikan karena ini saatnya kami mulai bertugas.
Suasana ceria, cuaca terang benderang dan tamu-tamu undangan mengantri untuk memasuki gedung. Semuanya berjalan lancar, alhamdulillah.. Mungkin yang sedikit menjadi kendala adalah ketika pada saat awal acara, dua diantara perempuan yang bertugas sebagai penerima tamu tiba-tiba meninggalkan meja tamu untuk ikut mengambil makanan tamu undangan (mungkin dia takut kehabisan makanan) kemudian bersantai dengan gadgetnya. Membuat teman-teman penerima tamu yang lain sedikit kerepotan dan kewalahan. Mungkin para tetua menganggapnya wajar, tapi itu namanya tidak bertanggung jawab kan. Entah jadi apa nantinya mereka kalau mereka sudah bekerja. Tidak patut dicontoh ya teman-teman.
Cuaca mulai meredup dan awan tebal menyelimuti gedung Rato Ebu dan sekitarnya ketika acara resepsi akan berakhir. Bahkan ketika menjelang ditutupnya acara, petir hujan dan angin badai menyerbu gedung. Petirnya itu lho, serem asli. Petir pertama berhasil membuat satu alarm mobil berbunyi tiba-tiba dan petir yang kedua meledak bagai bom yang membuat alarm dua mobil berbunyi bersahut-sahutan. Seperti ada sesuatu yang tersambar diujung sana.
Acara resepsi berakhir setelah adzan Ashar berkumandang. Setelah aku mendapatkan makan siang yang tinggal sedikit variannya -- lupa kalau tempat makan VIP untuk keluarga telah dibuka,, aku, Dhea dan Desi menuju ruang rias untuk ganti pakaian.
DISKUSI CANGGUNG USAI RESEPSI
Resepsi berakhir dan kami pulang ke Kamal, rumahnya mbak Eni. Mama dan aku sampai terlebih dulu (karena kami pulang lebih dulu daripada keluarga manten) dibarengi sama mas Ulum dan istri (Fatimah). Rumah sedang dijaga oleh santri yang menginap di sebelah rumah dan tidak dikunci, jadi kami bisa masuk dan beres-beres. Tak ingin melewatkan waktu sedetikpun untuk bersih-bersih, aku langsung mengambil peralatan perang make up ku. Tak lama kemudian tante Tin, om Solah, mbak Eni, mas Nizar dan Huda memasuki rumah.
Aku diminta membantu mencopoti hiasan kepala plus jarum dan penitinya oleh tante Tin. "Rasanya lega ya te abis dicopotin jarum dan penitinya?", tanyaku iseng. "Iyalah ca, duh wenak ini ca, lega...", jawab tante Tin.
Kemudian mbak Eni dan mas Nizar keluar dari kamar sambil membawa tongsis. Ellho. Gokil dan kompak juga nih manten baru hihihi. Alhasil deh, kita narsis sejadi-jadinya. Termasuk Fatimah yang asli asli dari keluarga pesantren (yang mengaku tidak tahu menahu tentang gadget dan IT sebelum menikah dengan mas Ulum, yang membuat aku kagum padanya, walau dia dua tahun lebih muda dariku, dia termasuk katagori hafidz Qur'an, Subhanallah..) ini juga mau ikut berfoto dengan kami. Kalau mas Ulum mah nda usah ditanya, dia pasti mau kalau diajak welfie wkwkwk, piss mas Ulum v^^.
Usai acara welfie di ruang tamu, aku menawarkan bantuan untuk mencopoti riasan kepala mbak Eni. "Wuoohh, yaa cha, dengan senang hati aku minta tolong..", kata mbak Eni. Yuk marilah kita mulai copot-mencopot bermacam-macam item yang membebani kepalamu mbak. Fatimah juga ikut membantu, senangnya ^^.
Disela-sela mencopoti riasan kepala mbak Eni, tante Tin dan Mama ikut nimbrung di ruang tamu. Mama mulai membuka pembicaraan. Aku tidak tahu awalnya bagaimana, tetapi aku mulai mengerti arah pembicaraan Mama. Bapak Ep disenggol oleh bapaknya mas Nizar dan bertanya tentang aku. Usut punya usut bapaknya mas Nizar rupanya memiliki niatan untuk mengenalkan anak pertamanya ke Ica binti Syafi'i. Jujur aku kaget tapi juga sedikit tersinggung. Mengapa Bapak Ep terburu-buru mengiyakan sebelum bertanya ke bapak atau aku sendiri...? Tapi aku hanya bisa diam saat itu, tapi juga nggerundel dihati. Walau begitu, seorang perempuan tidak boleh menolak mentah-mentah jika dikenalkan oleh seseorang, katanya. Mbak Eni yang mengerti dan tau kakak pertama mas Nizar ini terdiam pula, tapi raut wajahnya menunjukkan kesedihan untukku. Kami saling melirik. Kemudian aku teringat mbak Susy pernah mentertawakan mbak Eni karena dia paham mengapa lebih memilih mas Nizar daripada kakaknya. Dan kebetulan, dan mohon jangan menganggapku ke-geer-an, selama acara resepsi, aku sering bertemu dengan kakaknya mas Nizar, baru ngeh ketika Huda ngobrol dengannya, dia lebih intens memperhatikan gerak-gerikku. Semoga ini hanya perasaan ge-er ku saja ya hohoho.
Kemudian aku bertanya kepada tante Tin -- untuk melenyapkan pembicaraan tadi -- tentang keponakan tante Tin yang ada di Lampung. Ga sengaja sih mau bertanya itu, hanya sekedar iseng untuk mengganti bahasan. Lalu tante Tin bertanya, "Lho ica kok tau? Ada apa emangnya?". Antara sadar ga sadar, aku menjawabnya terlalu jujur --asli aku bego banget ini--, "Anu te, tadi waktu di gedung, adiknya tante Tin minta foto dan nomor Ica, lalu bilang mau dikenalin sama anaknya yang di Lampung". Seketika tante Tin dan mbak Eni tertawa. Lalu mbak Eni bilang, "Whoa, ica disini payu rek hahaha". Aduh, mati kutu jadinya. Setelah itu aku ga berani lagi bicara tentang begituan, walaupun tante Tin selalu bilang, "pokoknya abis gini Ica ya...". Terima kasih lho tante...
Serangkaian acara pernikahan mbak Eni pun terselenggara dengan sangat baik. Aku turut turut sangat bergembira atasmu mbak ^^. Barokallahu lakuma wabaroka 'alaikuma wajama'a bainakuma fii khoir. Jodoh memang tidak ada yang bisa menebak ya. Aku juga banyak mengambil pelajaran dari kehidupanmu.
Ada yang bertanya kah mengapa aku memanggilnya mbak Eni, padahal seharusnya beliau memanggilku dengan panggilan tante, mengingat mbak Eni adalah keponakan dari sepupuku (mbak Ida). Alasan aku memanggilnya mbak adalah karena beliau lebih tua tiga/empat tahun dariku, untuk menghormati beliau. Walau Huda pun sudah mengingatkan, "Sebenernya kan kita manggil mbak Ica itu tante Ica, lah ini kok malah embak". Aku cuma meringis deh kalau dipanggil tante sama saudara yang usianya tidak jauh berbeda denganku.......
Mas Nizar sang calon suami, menjawab Kabul dengan bahasa arab pula dengan sekali tarikan nafas. Beberapa detik setelah mas Nizar mengucap Kabul, suasana menjadi hening. Kemudian terdengar suara dari hadirin laki-laki mengucap Alhamdulillah bersahut-sahutan... Sekarang mbak Eni resmi jadi istri dan pendamping mas Nizar.
Alhamdulillah.. Sah..
Acara selanjutnya adalah ramah tamah untuk tamu dan undangan serta keluarga kedua belah pihak mempelai. Senyuman diantara mereka semua tidak pernah lepas dari wajah, senyuman kebahagiaan.
Sayangnya, aku tidak bisa turut ikut tersenyum hingga sore hari. Serangan dilep melanda perutku, ini pasti karena aku ga menjaga pola makan seminggu sebelumnya, membuatku harus rebahan dan sempat membuat semua orang khawatir. "Maafkan saya...", kataku dalam batin kala itu. Mama menanyaiku apakah aku siap untuk besok, jika tidak sebaiknya aku pulang ikut Bapak Ep (suaminya mama yang juga kakak dari bapakku). "Siap kok ma, ini dilepnya cuma berlangsung sehari aja, besok pasti sudah bisa loncat-loncat seperti biasa...". Mama mengiyakan aku dan menyuruhku untuk istirahat dulu. Sedih banget aku ga bisa ikut bantu-bantu, aku malah jadi beban disini, hiks.. Untung saja ketika adzan Ashar berkumandang, aku sudah bisa bangun dan bergerak. Tak kulewatkan kesempatan sedikitpun untuk membantu apapun setelah itu.
RESEPSI DI RATO EBU, BANGKALAN
Kalau kata tante-tante nya mbak Eni, "Sabar ya en, kamu dua hari ini jadi ratu, jadi yang sabar". Ya benar, selama dua hari mbak Eni jadi ratu! Dua kali mbak Eni memakai mahkota (sebut saja hiasan kepala) yang teramat sangat berat, dua kali wajah mbak Eni di make up sedemikian rupa (padahal mbak Eni memiliki kesamaan denganku : tidak suka merias/memakeup wajah) dan dua kali pula beliau memakai dress yang juga nampak berat. Untung sekali mbak Eni tidak sekurus tiga tahun yang lalu, jadi beliau bisa dan kuat menjadi ratu dua hari hihihi ^^.
Resepsi diadakan pada tanggal 9 April 2016 di Gedung Serbaguna Rato Ebu, Bangkalan Kota. Pagi hari, sekitar pukul 6 kurang, mbak Susy menelepon mbak Eni dan meminta untuk segera ke gedung. Waow, rupanya mbak Susy dan tim sudah stand by di gedung dari tengah malam. Patut diacungi jempol atas profesionalitasan mereka b^^d.
Mama meminta agar tante Tin, mbak Eni, mas Nizar dan aku untuk berangkat duluan ke gedung dengan diantar Huda,, setelah itu Huda kembali untuk menjemput Mama dan om Solah. Sementara menunggu dijemput, Mama dan om Solah mempersiapkan apa-apa yang kurang. Aku manut aja apa kata tetua. Tapi, setelah berada dijalan menuju ke gedung, diam-diam aku berubah pikiran. OMAIGAD, ternyata jauh juga jarak perumnas Kamal ke gedung Rato Ebu, kurang lebih delapan belas kilometer men, dan itu harus dikali tiga untuk Huda yang bolak-balik mengantar jemput kami. Tetapi perubahan pikiranku tidak merubah apapun, ketika Huda menyatakan kesanggupannya. Lagi-lagi aku lupa, kita bukan anak kecil lagi, Huda pun juga bukan lagi anak kecil yang manja dan periang seperti jaman dulu, dia kini berubah jadi laki-laki yang pemalu tapi nampak jelas terpancar dari dirinya bahwa dia adalah anak yang beragama, berpendidikan dan bisa dipasrahi tanggung jawab.
Aku jadi teringat curhatan mbak Eni dimalam sebelum hari akad nikah. Ketika akan dikenalkan oleh mas Nizar untuk kali pertama, mbak Eni saat itu masih berada di Pacet dalam rangka mendampingi mahasiswa yang sedang KKN disana. Om Solah dan Huda menuju Pacet untuk menjemput mbak Eni dan membawanya ke Surabaya, dan yang menyetir mobil adalah Huda. Padahal dihari sebelum menjemput mbak Eni, om Solah dan Huda baru pulang dari Jogja, yang menyetir Jogja-Kamal adalah Huda. Jadi, istilahnya mbak Eni pun salut pada adik laki-lakinya ini, jarak Jogja-Kamal-Pacet-Surabaya bukan jarak yang pendek, sementara Huda istirahatnya pun cuma sebentar. Hahaha, aku pun salut sama Huda, jempol empat dariku Hud bb^^dd. Tapi inget lho Hud, setop ya meng-ihi-ihi aku sama ex-klebun plat M...
Oke, sampailah kami di Rato Ebu. Ternyata Ibu dan Bapak mas Nizar sudah sampai lebih dulu dan menunggu kami untuk memasuki ruangan rias. Kami memasuki ruangan rias, disana sudah stand by mbak Susy dan tim, ada pula Desi (sepupu mbak Eni). Mbak Susy langsung me-make up mbak Eni. Seorang perempuan tidak berjilbab (tim rias mbak Susy) me-make up Desi dan seorang perempuan berjilbab yang juga bagian dari tim rias mbak Susy me-make up aku.
Satu jam lebih aku di make up, dipakaikan dress dan dipakaikan hijab. Wanita itu emang rempong ya. Mungkin karena kami (aku dan Desi) baru perkenalan dengan tim rias mbak Susy, jadi tim riasnya masih mengeksplor mana riasan yang cocok untuk kami dan pasukan nantinya, jadinya waktu yang digunakan lumayan lama. (Ellho, pasukan?). Yap pasukan. Tak lama setelah aku dipakaikan baju, rombongan dari keluarga Petukangan Ampel datang dan mengantri untuk dirias pula.
Satu jam lebih itu ternyata tidak mengecewakanku, riasan dan baju cocok sekali dengan aku, aku suka aku suka hehe. Tante-tante dari keluarga Ampel sampai berulang kali bilang, "Ini ica taahh?? Walahh.. Pangling aku, cek ayunee". Hihihi makasiya tante, setelah mendengar pujian tante, bolehkah aku berasumsi kalau sebelum di make up akunya ga cantik huhuhu...#dramaqueen banget deh.
Sebenarnya, caption yang ada disini adalah sebuah bait puisi yang aku buat pure otodidak, tapi ternyata yang mengapresiasi banyak sekali. Terima kasih atas apresiasinya ya...^^ |
Sekitar pukul 11, acara resepsi dimulai. Semua panitia berseragam selesai dirias dan siap diposisinya. Penjaga buku tamu harus meninggalkan meja tamu dan menjadi pengiring manten untuk memasuki gedung.
AH.. Aku suka sama nuansa turquoise gedung. Mulai dari dekor pelaminan, baju pengantin sampai baju penerima tamunya hihhihi.
Capture by Mbak Susy |
Om Solah dan tante Tin (captured by me) |
New Family ^^ (captured by me) |
Pengiring manten & penerima tamu (captured by Mbak Susy |
Suasana ceria, cuaca terang benderang dan tamu-tamu undangan mengantri untuk memasuki gedung. Semuanya berjalan lancar, alhamdulillah.. Mungkin yang sedikit menjadi kendala adalah ketika pada saat awal acara, dua diantara perempuan yang bertugas sebagai penerima tamu tiba-tiba meninggalkan meja tamu untuk ikut mengambil makanan tamu undangan (mungkin dia takut kehabisan makanan) kemudian bersantai dengan gadgetnya. Membuat teman-teman penerima tamu yang lain sedikit kerepotan dan kewalahan. Mungkin para tetua menganggapnya wajar, tapi itu namanya tidak bertanggung jawab kan. Entah jadi apa nantinya mereka kalau mereka sudah bekerja. Tidak patut dicontoh ya teman-teman.
Cuaca mulai meredup dan awan tebal menyelimuti gedung Rato Ebu dan sekitarnya ketika acara resepsi akan berakhir. Bahkan ketika menjelang ditutupnya acara, petir hujan dan angin badai menyerbu gedung. Petirnya itu lho, serem asli. Petir pertama berhasil membuat satu alarm mobil berbunyi tiba-tiba dan petir yang kedua meledak bagai bom yang membuat alarm dua mobil berbunyi bersahut-sahutan. Seperti ada sesuatu yang tersambar diujung sana.
Acara resepsi berakhir setelah adzan Ashar berkumandang. Setelah aku mendapatkan makan siang yang tinggal sedikit variannya -- lupa kalau tempat makan VIP untuk keluarga telah dibuka,, aku, Dhea dan Desi menuju ruang rias untuk ganti pakaian.
DISKUSI CANGGUNG USAI RESEPSI
Resepsi berakhir dan kami pulang ke Kamal, rumahnya mbak Eni. Mama dan aku sampai terlebih dulu (karena kami pulang lebih dulu daripada keluarga manten) dibarengi sama mas Ulum dan istri (Fatimah). Rumah sedang dijaga oleh santri yang menginap di sebelah rumah dan tidak dikunci, jadi kami bisa masuk dan beres-beres. Tak ingin melewatkan waktu sedetikpun untuk bersih-bersih, aku langsung mengambil peralatan perang make up ku. Tak lama kemudian tante Tin, om Solah, mbak Eni, mas Nizar dan Huda memasuki rumah.
Aku diminta membantu mencopoti hiasan kepala plus jarum dan penitinya oleh tante Tin. "Rasanya lega ya te abis dicopotin jarum dan penitinya?", tanyaku iseng. "Iyalah ca, duh wenak ini ca, lega...", jawab tante Tin.
Kemudian mbak Eni dan mas Nizar keluar dari kamar sambil membawa tongsis. Ellho. Gokil dan kompak juga nih manten baru hihihi. Alhasil deh, kita narsis sejadi-jadinya. Termasuk Fatimah yang asli asli dari keluarga pesantren (yang mengaku tidak tahu menahu tentang gadget dan IT sebelum menikah dengan mas Ulum, yang membuat aku kagum padanya, walau dia dua tahun lebih muda dariku, dia termasuk katagori hafidz Qur'an, Subhanallah..) ini juga mau ikut berfoto dengan kami. Kalau mas Ulum mah nda usah ditanya, dia pasti mau kalau diajak welfie wkwkwk, piss mas Ulum v^^.
Ahhaayy v^^ |
Disela-sela mencopoti riasan kepala mbak Eni, tante Tin dan Mama ikut nimbrung di ruang tamu. Mama mulai membuka pembicaraan. Aku tidak tahu awalnya bagaimana, tetapi aku mulai mengerti arah pembicaraan Mama. Bapak Ep disenggol oleh bapaknya mas Nizar dan bertanya tentang aku. Usut punya usut bapaknya mas Nizar rupanya memiliki niatan untuk mengenalkan anak pertamanya ke Ica binti Syafi'i. Jujur aku kaget tapi juga sedikit tersinggung. Mengapa Bapak Ep terburu-buru mengiyakan sebelum bertanya ke bapak atau aku sendiri...? Tapi aku hanya bisa diam saat itu, tapi juga nggerundel dihati. Walau begitu, seorang perempuan tidak boleh menolak mentah-mentah jika dikenalkan oleh seseorang, katanya. Mbak Eni yang mengerti dan tau kakak pertama mas Nizar ini terdiam pula, tapi raut wajahnya menunjukkan kesedihan untukku. Kami saling melirik. Kemudian aku teringat mbak Susy pernah mentertawakan mbak Eni karena dia paham mengapa lebih memilih mas Nizar daripada kakaknya. Dan kebetulan, dan mohon jangan menganggapku ke-geer-an, selama acara resepsi, aku sering bertemu dengan kakaknya mas Nizar, baru ngeh ketika Huda ngobrol dengannya, dia lebih intens memperhatikan gerak-gerikku. Semoga ini hanya perasaan ge-er ku saja ya hohoho.
Kemudian aku bertanya kepada tante Tin -- untuk melenyapkan pembicaraan tadi -- tentang keponakan tante Tin yang ada di Lampung. Ga sengaja sih mau bertanya itu, hanya sekedar iseng untuk mengganti bahasan. Lalu tante Tin bertanya, "Lho ica kok tau? Ada apa emangnya?". Antara sadar ga sadar, aku menjawabnya terlalu jujur --asli aku bego banget ini--, "Anu te, tadi waktu di gedung, adiknya tante Tin minta foto dan nomor Ica, lalu bilang mau dikenalin sama anaknya yang di Lampung". Seketika tante Tin dan mbak Eni tertawa. Lalu mbak Eni bilang, "Whoa, ica disini payu rek hahaha". Aduh, mati kutu jadinya. Setelah itu aku ga berani lagi bicara tentang begituan, walaupun tante Tin selalu bilang, "pokoknya abis gini Ica ya...". Terima kasih lho tante...
~oOo~
Serangkaian acara pernikahan mbak Eni pun terselenggara dengan sangat baik. Aku turut turut sangat bergembira atasmu mbak ^^. Barokallahu lakuma wabaroka 'alaikuma wajama'a bainakuma fii khoir. Jodoh memang tidak ada yang bisa menebak ya. Aku juga banyak mengambil pelajaran dari kehidupanmu.
Ada yang bertanya kah mengapa aku memanggilnya mbak Eni, padahal seharusnya beliau memanggilku dengan panggilan tante, mengingat mbak Eni adalah keponakan dari sepupuku (mbak Ida). Alasan aku memanggilnya mbak adalah karena beliau lebih tua tiga/empat tahun dariku, untuk menghormati beliau. Walau Huda pun sudah mengingatkan, "Sebenernya kan kita manggil mbak Ica itu tante Ica, lah ini kok malah embak". Aku cuma meringis deh kalau dipanggil tante sama saudara yang usianya tidak jauh berbeda denganku.......
Harga sewa gedungnya berapa yaa ?
BalasHapusWaduh.. Kebetulan saya bukan panitia inti.
HapusCoba search aja di google atau datangi saja tempatnya..