Suatu sore, tepatnya pada tanggal 18 Mei 2016 pukul 16.20 WIB, disela menunggu muridku yang sedang membaca buku yang aku pinta, dipikiran mendadak terlintas keinginan untuk membuka smartphone karena seharian aku tidak sempat membuka handphone hitamku ini. Kemudian jari telunjuk menyentuh sebuah aplikasi yang biasanya jarang sekali aku buka : Gmail, karena ada sebuah notifikasi reguler (bukan promosi dan pembaharuan) yang masuk.
Ada email masuk yang dikirim oleh sebuah alamat yang belum aku kenal. Di email yang masuk tertulis subjek "Pengumuman Pemenang Lomba". Email tersebut juga berisi lampiran, setelah selesai membaca isi email, aku membuka file yang berformat pdf dan berkop surat Kementrian Perdagangan itu. Saat membuka file, aku tidak memiliki perasaan dan harapan apa-apa mengenai isinya. Namun ketika ada namaku tercantum disitu, aku berubah jadi bingung campur senang campur ga percaya.
Karena aku masih ga percaya, aku meminta muridku untuk membaca ulang isi pengumuman itu. Kuserahkan hapeku dan dia membaca dengan seksama, semenit kemudian dia berkata, "Oee traktiraaann mbak!" #ngiheeekk. Aku cuma nyengir. Aku meminta dia untuk melanjutkan kembali bacaannya, pun untuk memberikanku waktu menghubungi sang ibu.
Sang ibu mengatakan bahwa aku harus berhati-hati, karena itu bisa saja penipuan. Mmmmnngg, aku menjelaskan sedemikian detail mengenai pengumuman ini, namun sang ibu hanya percaya paling mentok 79% hahaha. Sayangnya saat itu pengumuman pemenang tidak langsung diumumkan di website harkonas.id jadi sang ibu tidak langsung bisa percaya.
~
Dua malam berikutnya, salah satu panitia menghubungi dan mengatakan bahwa para pemenang lomba diundang ke Jakarta untuk menerima hadiah. Semua akomodasi dan hotel tempat menginap ditanggung oleh penyelenggara yang tak lain adalah pihak Kementrian Perdagangan yang bekerjasama dengan EO Navaplus.
Pikiranku saat itu adalah iya atau tidaknya mendapat perijinan sang Ibu. Karena sang Ibu ini kalau diminta perijinan pergi (dan atau yang lainnya) oleh anak-anaknya itu agak susah, apalagi kalau anak-anaknya perginya seorang diri. Daaan yak, ternyata benar saudara saudarah. Hampir saja aku ga jadi berangkat karena sang ibu tidak mengijinkan, beliau hanya mengatakan, "Lebih baik ibu ganti uang tujuh juta lima ratus ribu mu itu daripada ibu ngelepasin kamu pergi sendiri ke Jakarta". Lemas lah aku. Tapi dalam hati aku harus menghadapi ibu dengan calm, tegas dan meyakinkan beliau bahwa aku ingin kesana, bukan masalah uangnya tapi karena aku memang ingin kesana dan merasakan seperti apa pengalaman berhadapan dengan orang-orang baru dibidang yang baru aku masuki ini.
Aku pun mulai mencari tahu detail pengumumannya pada panitia yang mengkoordinir para pemenang. Mulai dari kesana naik apa, sesampainya di Jakarta menuju tempat lokasi dengan apa, selama di Jakarta menginap atau berada di tempat mana, dan meminta undangan resmi dari KEMENDAG. Alhamdulillah, semua pertanyaan dan permintaan telah dilayani oleh panitia dengan jawaban dan cara yang memuaskan. Aku hanya tinggal membawa baju batik untuk acara dan mempersiapkan segala sesuatu untuk menginap selama satu malam.
Sang Ibu setelah melihat kegigihan anaknya yang keras kepala ini rupanya mulai mengendor aturannya. Beliau langsung menghubungi beberapa saudara yang ada di Jakarta untuk mencari tahu kebenaran berita ini. Salah satu sepupu aku yang tertua dan tinggal lama di Jakarta bernama mas Yanto, entah bagaimana cara beliau mencari tahu, beliau meyakinkan ibu bahwa berita ini benar.
Sang Ibu setelah melihat kegigihan anaknya yang keras kepala ini rupanya mulai mengendor aturannya. Beliau langsung menghubungi beberapa saudara yang ada di Jakarta untuk mencari tahu kebenaran berita ini. Salah satu sepupu aku yang tertua dan tinggal lama di Jakarta bernama mas Yanto, entah bagaimana cara beliau mencari tahu, beliau meyakinkan ibu bahwa berita ini benar.
Apakah ibu langsung percaya begitu saja?
TIDAK.
Entah mengapa sang ibu memberatkan aku pergi mencari pengalaman baru. Yang aku tahu, ibu selalu mengatakan kalimat andalan, "kamu nanti akan merasakan rasanya jadi ibu".
Entah mengapa sang ibu memberatkan aku pergi mencari pengalaman baru. Yang aku tahu, ibu selalu mengatakan kalimat andalan, "kamu nanti akan merasakan rasanya jadi ibu".
Setidaknya pintu ijin sudah terbuka walau hanya sedikit. Tinggal meminyaki engsel dan mendorong gagang pintu saja.
Ibu memberatkan aku pergi karena aku akan meninggalkan kesibukan dan pastinya deadline pekerjaan selesai akan terulur beberapa hari. Jika aku pergi walau hanya dua hari, aku akan meninggalkan 1 pekerjaan nasional yang mau tidak mau ikut deadline pemerintah, kemudian meninggalkan 2 murid yang minggu-minggu ini sedang ujian kenaikan kelas, dan yang terakhir ada pekerjaan terakhir yang teramat penting yang akan aku tinggalkan sebentar : penelitian di kampus.
Aku bertekad untuk menyelesaikan satu persatu. Dengan menata ulang jadwal dan mengurangi jam istirahat, aku mulai konsisten membuktikan pada ibu agar beliau tidak perlu khawatir akan kegiatan dan pekerjaanku. Aku tidak akan mengulur deadline pekerjaan.
Tiga hari aku telah menyelesaikan pekerjaan nasional, bahkan aku berhasil menyelesaikan sebelum deadline yang ditentukan pemerintah. Waktu mengajar murid-murid pun tidak aku lewatkan, semua materi terisi dengan memuaskan sebelum aku tinggal mereka. Dan yang terakhir, ibu dosen bersedia menungguku sepulang dari Jakarta.
Pembuktian bahwa aku bias, telah meloloskan aku dari ijin birokrasi sang Ibu yang terlalu rumit, hehehe. Tidak ada jawaban iya, namun aku rasa aku bisa berangkat.
Walau sang Ibu sangat susah mengeluarkan ijin namun beliau mengatakan bahwa beliau bangga kepadaku. Somehow, hal itu membuatku tersipu malu dan merasa, ah ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dan walaupun masih belum sepenuhnya ikhlas melihat anaknya seorang diri berangkat ke Jakarta, sang ibu membantu bahkan mempersiapkan segala yang aku perlukan disana. Mungkin ini cenderung berlebihan. Persiapan yang aku pikirkan hanya membawa barang-barang tepat hanya untuk satu hari satu malam. Namun ibu, mempersiapkannya seolah-olah aku berada di Jakarta dalam waktu seminggu. Baju, makanan, pulsa dan uang,, itu semua terlalu lebay. Aku tak bisa membantah dan cuma bisa nyengir. Sesekali kalau tidak dilihat ibu, aku diam-diam mengurangi beberapa barang yang tidak dibutuhkan termasuk makanan pulsa dan uang.
Ibu memberatkan aku pergi karena aku akan meninggalkan kesibukan dan pastinya deadline pekerjaan selesai akan terulur beberapa hari. Jika aku pergi walau hanya dua hari, aku akan meninggalkan 1 pekerjaan nasional yang mau tidak mau ikut deadline pemerintah, kemudian meninggalkan 2 murid yang minggu-minggu ini sedang ujian kenaikan kelas, dan yang terakhir ada pekerjaan terakhir yang teramat penting yang akan aku tinggalkan sebentar : penelitian di kampus.
Aku bertekad untuk menyelesaikan satu persatu. Dengan menata ulang jadwal dan mengurangi jam istirahat, aku mulai konsisten membuktikan pada ibu agar beliau tidak perlu khawatir akan kegiatan dan pekerjaanku. Aku tidak akan mengulur deadline pekerjaan.
Tiga hari aku telah menyelesaikan pekerjaan nasional, bahkan aku berhasil menyelesaikan sebelum deadline yang ditentukan pemerintah. Waktu mengajar murid-murid pun tidak aku lewatkan, semua materi terisi dengan memuaskan sebelum aku tinggal mereka. Dan yang terakhir, ibu dosen bersedia menungguku sepulang dari Jakarta.
Pembuktian bahwa aku bias, telah meloloskan aku dari ijin birokrasi sang Ibu yang terlalu rumit, hehehe. Tidak ada jawaban iya, namun aku rasa aku bisa berangkat.
Walau sang Ibu sangat susah mengeluarkan ijin namun beliau mengatakan bahwa beliau bangga kepadaku. Somehow, hal itu membuatku tersipu malu dan merasa, ah ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dan walaupun masih belum sepenuhnya ikhlas melihat anaknya seorang diri berangkat ke Jakarta, sang ibu membantu bahkan mempersiapkan segala yang aku perlukan disana. Mungkin ini cenderung berlebihan. Persiapan yang aku pikirkan hanya membawa barang-barang tepat hanya untuk satu hari satu malam. Namun ibu, mempersiapkannya seolah-olah aku berada di Jakarta dalam waktu seminggu. Baju, makanan, pulsa dan uang,, itu semua terlalu lebay. Aku tak bisa membantah dan cuma bisa nyengir. Sesekali kalau tidak dilihat ibu, aku diam-diam mengurangi beberapa barang yang tidak dibutuhkan termasuk makanan pulsa dan uang.
Nasehat-nasehat dari Ibu jika aku tata rapi, barangkali sudah lebih dari satu lemari pakaianku yang terbuat dari kayu jati. Hahaha. Aku sedikit keberatan tapi aku tidak bisa membantah. Kan memang sudah seharusnya anak tidak membantah apa yang diberikan sang Ibu. Kecuali jika yang diberikan adalah hal yang tak baik. Dan membantahnya pun harus dengan cara yang baik pula. Bagaimanapun, ibu adalah orang yang wajib kita patuhi dan sayangi ^^
Note to self.
Pertanyaan yang selama ini muter-muter di kepala : Could I? Can I?, atas semua usaha yang aku lakukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, alhamdulillah kali ini aku bisa mempercayainya. Could I? Can I?, dan aku berhasil menjawabnya dengan berani : Yes, I can.
Baca cerita selanjutnya ya : Part 2 - Perjalanan Pertama Dengan Pesawat Seorang Diri
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.