Hamil pertama buat saya adalah hal yang sangat menyenangkan, memang tidak sama saat seperti masih gadis dulu yaa -- loncat sana loncat sini lari sana lari sini -- karena memang badan masih single. Yang bikin hamil jadi menyenangkan adalah saya tidak mendapati diri ini berkeluh apa-apa, tidak rewel apa-apa, makanan pun alhamdulillah semua bisa masuk tanpa tebang pilih, pekerjaan rumah juga bisa dikerjakan dan selesainya ontime, dan yang paling alhamdulillah lagi -- saya bisa jalan kemanapun saya suka.
Naik becak saat hamil? Ngga masalah.
Naik delman pas hamil? Pernah dua kali.
Naik motor? Sering.
Naik mobil? Ya sudah jangan ditanya.
Naik kereta? Nyenengin banget!
Naik pesawat? Nggg... Ini baru pertama kalinya buat saya naik pesawat saat hamil.
Ceritanya, saya dan mas husband sama-sama memiliki urusan di Jakarta dan mengharuskan kami untuk stay selama empat hari empat malam disana. Bersyukuuur sekali saya, kakbay (kakak bayi -- julukan dari saya dan mas husband untuk yang di perut) bisa diajak kerja sama. Trims yaa kakbay.
Kata saudara-saudara memang jarang-jarang ada bumil yang tidak rewel selama kehamilan, istilahnya karena bawaan bayi. Tapi ya itu tadi, saya suka mensugesti diri dan membisikkan kata-kata lembut sambil elus-elus perut, semua kalimat yang positif, dan membuat diri menjadi happy agar kakbay di perut juga ikut happy. Alhamdulillaaahh jika kakbay mendengar suara ibunya dan menuruti ibunya. Semoga kamu sehat sampai lahir didunia ya kakbay.. Aamiin.
Kami berangkat ke Jakarta naik kereta dan pulang ke Surabaya naik pesawat, semua mas husband yang nge-handle.
Setelah semua tiket dipesan dan dibayar, teringatlah saya akan judul artikel yang pernah saya baca sekilas saat masih gadis (karena merasa masih gadis, jadi saya rasa belum cukup ingin tahunya tentang seputar kehamilan), bahwa tidak semua ibu hamil diperbolehkan naik pesawat. Ditambah lagi setelah berbincang dengan kakak sepupu, beliau mewanti-wanti agar berkonsultasi pada dokter lebih dulu (boleh tidaknya naik pesawat) sebelum berangkat, kalau engga dilakukan ngga bole berangkat.
Setelah semua tiket dipesan dan dibayar, teringatlah saya akan judul artikel yang pernah saya baca sekilas saat masih gadis (karena merasa masih gadis, jadi saya rasa belum cukup ingin tahunya tentang seputar kehamilan), bahwa tidak semua ibu hamil diperbolehkan naik pesawat. Ditambah lagi setelah berbincang dengan kakak sepupu, beliau mewanti-wanti agar berkonsultasi pada dokter lebih dulu (boleh tidaknya naik pesawat) sebelum berangkat, kalau engga dilakukan ngga bole berangkat.
Lah piye.. Tiket sudah dipesan -- berangkat weekend, sementara dokter kandungan yang tau riwayat saya hanya bisa ditemui saat weekend. Kami mencari kartu nama dokternya, tapi ngga ketemu-ketemu. Kemudian mas husband berusaha untuk meminta nomor dokter pada rumah sakit, tapi pihak rumah sakit tidak memberi tahu (alasannya ngga boleh).
Jadi bagaimana? Bismillah, kami bondo nekat, pulang pergi seperti yang direncanakan.
Sabtu..
Minggu..
Senin..
Selasa..
Hari pulang sudah tiba.
Dari Town House Villa Pejaten, kami menuju bandara Sukarno-Hatta menggunakan bus kota bandara tiga jam lebih awal dari keberangkatan pesawat.
Check in online di terminal 1C tak masalah. Melewati screening barang-barang pun tak ada masalah. Melewati screening kedua pun juga tak ada masalah. Setelah pintu garbarata dibuka dan penumpang Citilink QG-803 dipersilahkan masuk, kami pun ikut mengantri masuk pesawat.
Dua petugas Citilink memeriksa KTP dan tiket kami, awalnya kami diperbolehkan masuk. Beberapa detik kemudian salah satu mbak petugasnya bertanya dengan nada terdengar gawat, "Ibu, hamil ya?"
"Iya", jawab saya singkat nan santai.
"Ibu, ada surat dokternya?", tanyanya dengan nada gawat yang sama.
"Tidak ada surat dokter mbak..."
"Kemarin kami sudah konsultasi dengan dokter, dokternya mengijinkan secara lisan, jadi tidak perlu surat katanya", sela mas husband.
"..iya tapi sesuai dengan prosedur maskapai pak, ibu hamil diwajibkan membawa surat keterangan terbang dari dokter..."
"Kak, kak, tolong kak, ini ada ibu hamil. Ini KTP dan tiketnya, ini punya suaminya...", kata mbak petugas pada mas petugas yang ada di sudut lorong.
Semua terjadi begitu cepat, membuat saya deg-degan dan tidak bisa berfikir cepat, takut tidak jadi berangkat. Mas husband yang maju berkoordinasi dengan mas petugas yang menjaga sudut lorong. Beberapa detik kemudian terdengar mas petugas berkata, "Ibu, pakai kursi roda saja biar cepat.. Barang-barangnya dititipkan disini saja..."
Loh loh,, mau dibawa kemana saya?
Jadi bagaimana? Bismillah, kami bondo nekat, pulang pergi seperti yang direncanakan.
Sabtu..
Minggu..
Senin..
Selasa..
Hari pulang sudah tiba.
Dari Town House Villa Pejaten, kami menuju bandara Sukarno-Hatta menggunakan bus kota bandara tiga jam lebih awal dari keberangkatan pesawat.
Check in online di terminal 1C tak masalah. Melewati screening barang-barang pun tak ada masalah. Melewati screening kedua pun juga tak ada masalah. Setelah pintu garbarata dibuka dan penumpang Citilink QG-803 dipersilahkan masuk, kami pun ikut mengantri masuk pesawat.
Dua petugas Citilink memeriksa KTP dan tiket kami, awalnya kami diperbolehkan masuk. Beberapa detik kemudian salah satu mbak petugasnya bertanya dengan nada terdengar gawat, "Ibu, hamil ya?"
"Iya", jawab saya singkat nan santai.
"Ibu, ada surat dokternya?", tanyanya dengan nada gawat yang sama.
"Tidak ada surat dokter mbak..."
"Kemarin kami sudah konsultasi dengan dokter, dokternya mengijinkan secara lisan, jadi tidak perlu surat katanya", sela mas husband.
"..iya tapi sesuai dengan prosedur maskapai pak, ibu hamil diwajibkan membawa surat keterangan terbang dari dokter..."
"Kak, kak, tolong kak, ini ada ibu hamil. Ini KTP dan tiketnya, ini punya suaminya...", kata mbak petugas pada mas petugas yang ada di sudut lorong.
Semua terjadi begitu cepat, membuat saya deg-degan dan tidak bisa berfikir cepat, takut tidak jadi berangkat. Mas husband yang maju berkoordinasi dengan mas petugas yang menjaga sudut lorong. Beberapa detik kemudian terdengar mas petugas berkata, "Ibu, pakai kursi roda saja biar cepat.. Barang-barangnya dititipkan disini saja..."
Loh loh,, mau dibawa kemana saya?
Saya dan mas husband mengikuti mas petugas. Kemudian dia (mas petugas) mengambil sebuah kursi roda, menuruni anak tangga, membuka kursi roda kemudian meminta saya untuk duduk di kursi roda tersebut.
Saya masih mampu berlari kok disuruh pakai kursi roda, batin saya saat itu. Tapi saya tetap menuruti mereka. Ben ndang mari urusane.
Mas husband meminta mas petugas untuk menunjukkan jalan, sementara mas husband yang mendorong kursi roda. Dengan setengah berlari mas petugas memimpin jalan, sementara mas husband pun mendorong kursi roda begitu cepat. Membuat suasana hati makin deg-degan. Saat itu saya jadi merasa kalau saya sakit, padahal aslinya sehat wal'afiat.
Langkah kaki mas petugas berhenti disebuah ruangan kecil yang agak penuh dengan orang. Seorang paruh baya yang sedang duduk diatas kursi roda -- sedang diperiksa oleh dokter, dua orang wanita berusia 45an duduk menunggu, seorang pria berusia 40an berdiri disamping wanita tadi, seorang pria dan seorang perawat berdiri disamping pintu, seorang pria berusia 45an berseragam militer duduk dekat dokter.
Apakah semua ini pasien? Kalau iya, berapa lama lagi giliran saya diperiksa? Masih bisa ngejar pesawat ngga ya?
Duhh pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi ruang kepala.
Dokter yang berusia 40an ini melihat saya dan mempersilahkan masuk. Kemudian seorang wanita yang duduk tadi meminta agar pria berseragam militer untuk memberikan tempat duduknya pada saya. Pria ini memberikan tempat duduknya pada saya.
"Mau terbang tapi tidak ada surat ya mbak?", tanya dokter.
"Memang tidak ada surat dok, tapi oleh dokter obgyn saya diijinkan naik pesawat secara lisan..."
"Menstruasi terakhir kapan mbak?", tanya dokter lagi sambil melihat komputer. Komputernya terpampang aplikasi mirip aplikasi hawa yang ada di handphone.
"Wahh,, saya lupa dok.. Sekitar satu bulan sebelum bulan puasa, barangkali, saya lupa-lupa ingat dok.."
"Lhoo, kok bisa lupa. Itu wajib diingat mbak.. Kalau prediksi kelahirannya kapan?", tanya beliau lagi sambil mencoret-coret sebuah kertas, prediksi saya surat inilah yang mampu meloloskan saya.
Surat Keterangan Kelaikan Terbang |
"Awal Februari.."
"Baik, dicek tensi dulu yaa"
Saya mencari-cari mas husband, rupanya do'i sedang berkoordinasi dengan mas petugas yang tadi.
Usai ditensi, dokter memberikan surat jalan ke saya dan saya dipersilahkan untuk kembali ke pesawat. Mas husband masih menandatangani surat perjanjian dengan pihak maskapai, kemudian surat tersebut langsung diambil oleh mas petugas, tanpa sempat saya lihat isinya.
Kami bertiga keluar ruangan dan saya diminta untuk naik kursi roda lagi. Mas husband kembali mendorong kursi roda. Serasa romantis sih, tapiii naudzubillahmindzaliiik, semoga hal ini tak terjadi lagi.
Kami menuju ke pintu masuk, naik eskalator khusus difabel (omaigat... biar cepat kata mas petugas), kemudian melewati pintu screening yang kedua. Kami kembali diperiksa dan lolos cepat karena tidak membawa apa-apa.
Saya turun dari kursi roda mengambil barang lalu berjalan menuju garbarata. Mas petugas berbicara dengan mas husband kurang lebihnya bilang begini, "...kalau semisal ibu dan bapak ingin meminta surat dokter, nanti setelah landing bisa minta di petugas pesawat. Surat bisa digunakan untuk penerbangan berikutnya namun tak boleh lebih dari satu bulan dari sekarang..."
Fiuh,, alhamdulillah kapten pesawat masih bersedia menunggu kami.
Meskipun saya bisa lolos sejauh ini, tapi temans yang sedang hamil dan diharuskan naik pesawat tidak disarankan hanya bermodal bondo nekat seperti saya ya. Harus disiapkan dari awal, mulai dari perijinan dengan dokter kandungan; dengan dokter bandara dan petugas maskapai. Oh iya, selain juga membuat diri jadi happy, membawa barang favorit saat dalam pesawat juga bisa bikin relax saat kapten pilot bermanuver. Tau sendiri kan yaa, kadang kapten pilot itu ngga peka dan paham perasaannya ibu hamil...hehehe.