Surabaya - Jejak akulturasi dengan bangsa Tiongkok yang saya rasakan adalah ketika saya menghabiskan masa kecil di rumah Nenek yang letaknya di Surabaya Utara, tepatnya di daerah Kraton. Di lingkungan perkampungan rumah nenek ini tinggallah beberapa etnis dan suku. Ada keluarga Jawa asli, keluarga Madura, keluarga India dan keluarga Tiongkok yang tinggal dan menetap cukup lama di daerah Kraton. Namun yang lebih dekat dengan keluarga nenek adalah dari keluarga Tiongkok. Tetangga sebelah kiri dan tetangga belakang rumah misalnya, sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu mereka tinggal disana.
Bukpa (adik dari bapak) pernah bercerita, saat saya baru bisa jalan, tanpa sepengetahuan bukpa suatu ketika saya main ke tetangga sebelah rumah Kraton. Adalah Cik A Po seorang ibu muda yang berprofesi sebagai penjahit yang tinggal disitu, mengajak saya masuk rumahnya. Kata bukpa, seisi rumah mencari saya kemana-mana, sementara saya duduk melihat TV sambil makan kue bulan. Saya duduk disamping Cik A Po yang sedang menjahit saat itu. Beberapa menit kemudian Buya (suami dari bukpa) datang, mencari dan menjemput saya.
“Owalaa mas Mansyur, areke ndelok tivi ambek mangan kue iki lho nang kene, anteng…”, kata Cik A Po. Hanya kata-kata tersebut dan suara khas serak cantik Cik A Po yang saya ingat hingga saat ini, sisanya lupa hehe.
Setelah kejadian itu, setiap menjelang perayaan Imlek, Cik A Po selalu mengirimkan kue bulan dan kue keranjang secara bergantian bahkan pernah mengirimkan selembar angpao merah (yang berisi uang kertas berwarna merah pula) ke rumah. Bilangnya, “ini untuk Ica”. Ica adalah nama kecil saya.
Indonesia, begitu banyak ragam suku dan budaya, etnis dan agama. Masuknya orang-orang asing yang berdagang ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi oleh orang Indonesia asli terutama didaerah pesisir. Mengapa? Temans pasti ingat, jaman dahulu sebelum abad ke 15 belum ada yang namanya kereta api apalagi pesawat terbang. Semua perjalanan jauh dilakukan dengan naik kapal dan atau perahu layar.
Mari kita mengingat sejarah, konon orang-orang Tiongkok lah yang masuk pertama kali ke Indonesia melalui jalur darat dan laut atau yang biasa dikenal dengan jalur sutra. Bangsa Tiongkok yang masuk ke Indonesia memiliki tujuan untuk berdagang, lambat laun kemudian mereka tinggal, hidup membaur dengan penduduk asli setempat dan memiliki keturunan. Selain berdagang, mereka yang datang ke Indonesia rupanya juga memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam.
Saya tertarik untuk menelisik semarak Imlek di kota tercinta ini, Surabaya oh Surabaya.
Seperti yang kita ketahui, Surabaya termasuk kota yang berada di pesisir pantai dan tingkat keakulturasian penduduk asli terhadap budaya lain begitu besar. Hingga kini masyarakat Surabaya masih memiliki potret kerukunan yang terjaga antara bangsa Tiongkok dan penduduk lokal, dan semakin bertambah menjelang Imlek. Kita dapat membuktikannya dengan melihat dua tempat berikut.
PASAR ATOM MALL SURABAYA
Surabaya terkenal dengan kota metropolitan dan menjadi etalase dari beberapa kota industri baik skala Jawa Timur maupun skala Indonesia. Tidak heran jika di Surabaya banyak didirikan mall dan pusat perbelanjaan. Mall dan pusat perbelanjaan selalu mengikuti tren termasuk saat hari-hari besar, suasananya disulap dengan ornament yang mendukung ketika menjelang hari-hari besar. Contohnya saat ini, bulan dimana momen perayaan Imlek begitu kental. Salah satu pusat perbelanjaan dengan nuansa perayaan Imlek yang sangat kental adalah Pasar Atom.
Pasar Atom dulunya merupakan tempat belanja terbesar di Surabaya dan uniknya baik penjual maupun pembeli didominasi oleh etnis Tionghoa. Tidak heran jika menjelang perayaan Imlek, pasar atom lebih marak dengan ornamen Imlek berwarna merah dan didominasi dengan penjual yang menjajakan barang kebutuhan Imlek.
Eits, walau mayoritas penjual dan pembeli merupakan orang Tionghoa, penduduk lokal Surabaya dan sekitarnya juga turut meramaikan dengan berbelanja di pasar atom ini lho. Tidak hanya wanita kantoran nan modern, rombongan ibu-ibu berjilbab pun juga datang untuk berbelanja. Fenomena macetnya jalan Gembong, jalan Stasiun Kota, jalan Waspada dan jalan Siaga secara bersamaan selalu terjadi pada H-7 tahun baru Imlek. Penyebab dari macetnya jalanan tersebut adalah berbagai mobil pembeli yang mengantri untuk parkir di kawasan pasar atom.
Ornamen Gantung Imlek |
Eits, walau mayoritas penjual dan pembeli merupakan orang Tionghoa, penduduk lokal Surabaya dan sekitarnya juga turut meramaikan dengan berbelanja di pasar atom ini lho. Tidak hanya wanita kantoran nan modern, rombongan ibu-ibu berjilbab pun juga datang untuk berbelanja. Fenomena macetnya jalan Gembong, jalan Stasiun Kota, jalan Waspada dan jalan Siaga secara bersamaan selalu terjadi pada H-7 tahun baru Imlek. Penyebab dari macetnya jalanan tersebut adalah berbagai mobil pembeli yang mengantri untuk parkir di kawasan pasar atom.
Antrian area parkir pasar atom mall |
MASJID MUHAMMAD CHENG HOO SURABAYA
Sekitar 10 menit lamanya jika kita berkendara ke selatan akan menemukan masjid muhammad cheng hoo, masjid dengan nuansa Tiongkok. Menjelang perayaan Imlek, masjid Cheng Hoo yang terletak di jalan Gading nomor 2 diramaikan oleh para wisatawan lokal, luar daerah bahkan internasional. Saya berasumsi akan ada acara khusus disini menjelang perayaan Imlek, namun rupanya lingkungan masjid begitu adem ayem.
Kala mengunjungi masjid tepat di tahun baru Imlek kemarin, saya berjumpa dengan dua kelompok wisatawan yakni wisatawan asing yang berasal Kuala Lumpur dan wisatawan berwajah Tionghoa. Saya berhasil ngobrol dengan seorang bapak yang berasal dari Kuala Lumpur, beliau dan rombongan memiliki destinasi datang ke Surabaya salah satunya untuk melaksanakan sholat di masjid Cheng Hoo. Kebetulan hari itu adalah hari terakhir beliau dan rombongan plesir di Surabaya. Sementara itu 3 orang wisatawan berwajah Tionghoa terlihat berfoto didepan masjid dan berkeliling masjid.
Wisatawan dari Kuala Lumpur berfoto di depan masjid Cheng Hoo |
Masjid Muhammad Cheng Hoo ini dibangun atas prakarsa pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Jawa Timur, serta tokoh masyarakat Tionghoa Surabaya. Arsitektur perpaduan Tiongkok Arab merupakan khas dari masjid ini, memberikan kesan damai dan mewah.
Menjelang Imlek, di serambi masjid tergantung 6 buah lampion berbentuk bulan dengan warna yang mencolok khas Tiongkok, menandakan bahwa budaya Tionghoa tidak pernah hilang dari masjid.
Keunikan Islam dan Imlek di Surabaya merupakan hal yang membawa berkah terhadap perdamaian dan kerukunan penduduknya. Bagaimana dengan di kota lain? Apakah ada keunikan tersendiri?
Saya teringat tentang cerita teman yang bertempat tinggal di Rembang, tepatnya di daerah Lasem. Rumahnya yang berada di lingkungan pondok pesantren dan permukiman Tionghoa, membuatnya menjadi saksi hidup rukunnya kehidupan penduduk Lasem yang beragam. Seperti contohnya ketika ada salah satu tetangga Tionghoa yang meninggal, tetangga dari pondok pesantren pun datang melayat mengenakan baju koko dan sarung. Kemudian ketika ada perayaan Imlek yang biasanya dirayakan pada hari ke 15 bulan baru dalam kalender Cina, penduduk Tionghoa mengadakan acara makan-makan dan mengundang santri untuk ikut serta. Teman saya berkata, “alangkah indahnya menjadi saksi hidup potret kerukunan dua perbedaan disini…”. Saya tersenyum senang mendengarnya.
Bagaimana ya perayaan imlek tahun ini di kota-kota di Indonesia?
Serious, I want to know!