Terngiang dengan rajukan adik ipar pada mas husband dengan bahasa Madura, yang di translate kembali sama mas husband kurang lebih artinya begini : "...cacak sudah ada mbak Lisa, ngga pernah ngajak jalan-jalan aku..."
Sempat ada perasaan bersalah, dan saya cari-cari kesalahan saya itu namun tidak menemukannya. Saya mengerti perasaannya dan sempat cemburu juga karena adik saya tidak pernah merajuk seperti itu wkwkwk. Ya jelas lah Lis, adikmu wes gede -___-. Usia memang kadang berbanding lurus dengan kematangan diri.
~oOo~
Chandra, sepupu mas husband yang berdomisili di Papua (lahir di Lamongan -- besar di Papua) sudah hampir satu bulan berada di Jawa, tepatnya di Lamongan dan Kamal. Kebetulan awal September ini dia lagi menghabiskan waktu liburannya di Kamal. Sebentar saja saya dan dia langsung akrab, anaknya memang bisa mengakrabkan diri dengan siapapun, apalagi kalau ada dia di rumah Kamal, rumah ngga pernah sepi.
Terbesit di pikiran, mumpung weekend ini mas husband dan saya pulang ke Surabaya tapi belum ada rencana kemana-mana, bagaimana kalau kami jalan-jalan di Surabaya. Kami siapa? Mas husband, Saya, Diyah dan Chandra.
Daaan,, sipp juosh! Mas husband menyetujui ide saya.
9 September 2017, pukul sebelas siang, Diyah dan Chandra sudah sampai di Pelabuhan Perak. Datangnya kapal feri yang mengantar penumpang dari Perak ke Kamal memang susah diprediksi. Semakin sedikit kapal yang beroperasi, semakin lama waktu menunggu datangnya kapal. Mungkin itu yang jadi kendala terlambatnya mereka. Mas husband dan saya langsung menjemput mereka dan mengajak ke Jembatan Merah Plaza (JMP) untuk ishoma lebih dulu.
Chandra request ingin mengunjungi tempat yang ada lampu PJR dan tempat duduk ditepi jalan. Menurutnya, tempat yang seperti itu bagus untuk dijadikan spot foto. Kalau menurut saya, di Surabaya buanyaaakk tempat yang seperti itu, tinggal pilih mau dimana. Surabaya Timur, Surabaya Barat, Selatan, Utara, Tengah? Mas husband langsung mematahkan, do'i memutuskan agar jalan-jalannya di Surabaya Utara saja. Ottrrree. Jembatan Merah Plaza pun juga ada lampu PJR dan tempat duduknya.
Setelah makan siang dan sholat di JMP, kami berjalan ke Taman Sejarah yang letaknya didepan JMP. Panasnya matahari Surabaya sempat membuat bumil ini nggeliyengan karena serangan migrain mendadak~. Tahanlah, tahanlah Lis, masih baru jalan sebentar~ fiuhh. Matahari, boleh ngga sinarnya diredupin dikit .-.
Teriknya matahari dan bisingnya suara kendaraan yang lewat, tak menyurutkan semangat berfoto, dua anak ini : Diyah dan Chandra. Berbagai sudut dari trotoar Taman Sejarah jadi target untuk berfoto. Mas husband bergumam, "Yo ngene iki, orang Madura dan orang Papua yang menginjakkan kaki ke Surabaya...". Haishh~.
Terciduk |
Masih ada dua tempat lagi yang akan dikunjungi, kali ini mas husband dan saya memiliki itinerary perjalanan -- baru diputuskan saat berada di atas motor -- akan menjemput mereka di pelabuhan. Dan susyaah sekali menarik mereka berdua untuk move ke tempat berikutnya. Tak henti-hentinya mereka berfoto~.
Menunggu... |
Lanjut ajah ke lokasi yang kedua : House of Sampoerna (HOS), surganya penggila foto heritage. Boleh dikatakan sudah berulang kali mas husband dan saya pergi kesini, sedikit bosan memang, hampir semua informasi sudah dibaca, dan tidak ada perubahan yang kentara dari letak atau susunan benda kunonya. Berbeda dengan Diyah dan Chandra, mereka baru pertama kali kesini, jadi boleh saya katakan : waktu mengabadikan moment lagi milik kalian~
Kami berdua punya waktu buat kentjan dehh, ahieuww.
Kita alay, kita alay .-. |
Sebagai perempuan yang perutnya full (baca : ada kakak bayinya), saya mudah sekali ingin ke kamar mandi. Sempat kesulitan ketika di gedung utama HOS memiliki kamar mandi yang bagus, namun kamar mandi tersebut dibuat kering (tidak ada air untuk membersihkan dubur). Jelas ini sangat tidak nyaman, apalagi untuk sebagian orang yang ingin menjaga kesucian. Termasuk saya, risih gitu rasanya kalau buang air kecil ngga pake air. Lalu saya teringat di bagian gedung lain HOS terdapat kamar mandi lain dekat dengan mushola. Kemudian saya dan mas husband menuju tempat tersebut untuk menunaikan hajat masing-masing (yaaawwnnn hehehe).
Saya keluar kamar mandi lebih dulu, do'i masih ngendon di dalem. Pas saya hubungi, eeehh, ternyata do'i buang hajat besar wakakakakk. Iya deh, puas-puasin mas.. Adik tunggu ko.. xD
Sementara itu... Diyah dan Chandra masih asyik bernarsis ria dengan kamera mereka.
Kalau dilihat-lihat, dirasa-rasa, diterawang-terawang #lho. House of Sampoerna dari pertama kali saya berkunjung (sekitar tahun 2010) hingga kini, pengunjungnya terlihat meningkat pesat. Dari pengunjung lokal hingga turis mancanegara, dari yang anak sekolah hingga yang lanjut usia, semuanya datang untuk menikmati tempat ini. Namun jika ditilik lebih seksama, ada perbedaan yang mencolok dari tujuan datangnya mereka.
Sering saya dihadapkan oleh pengunjung yang memiliki dua kebiasaan yang berbeda 180 derajat, dan hari ini bisa nampak jelas perbedaan tersebut. Saya duduk, mengamati, dan mencuri dengar. Beberapa turis mancanegara (berumur sekitar 40 hingga 50-an) yang datang menikmati wisata terlihat begitu cermat membaca papan informasi, memperhatikan benda-benda kuno, berdiskusi dengan sudut pandang mereka tentang arsitektur gedung, dan mengabadikan segala macam ke-kuno-an tempat ini dalam single objek yakni benda itu sendiri.
Sementara itu, diseberangnya, terdapat sekumpulan turis lokal -- anak ABG atau mungkin bisa disebut dengan anak kekinian -- yang datang bergerumbul, sedikit membuat gaduh dengan candaan mereka, tentunya tidak terlihat respect terhadap informasi heritage yang disediakan tempat ini, kemudian berbaris bergantian berfoto dengan gaya kekiniannya, kemudian pergi mencari spot lain yang sekiranya bisa membuat mereka jadi hits.
Pemandangan yang... Entahlah. Tahun ini perbedaan tersebut terasa begitu mencolok, dibanding dua tahun yang lalu ketika saya berkunjung kemari. Apakah yang ada dipikiran anak Indonesia jaman now hanyalah menaikkan rating ke-famous-an nya, ketimbang menambah informasi tentang sejarah negaranya?. Oh... Rumit.
Anyway, waktu ashar kian dekat. Mas husband dan saya mendapat tempat duduk di taman tengah (lokasinya diantara gedung utama dan galeri). Kemudian Diyah dan Chandra menyusul kami. Mas husband memberi saran agar sholat ashar disini saja, diawal waktu, kemudian setelahnya bisa cuss ke tempat jalan-jalan berikutnya. OKE!
Sholat ashar berjamaah, ini yang saya tunggu. Kami berempat menjadi makmum dan orang lain yang menjadi imam. Usai sholat, kami bergegas ke lokasi yang ke tiga : Surabaya North Quay atau yang biasa disingkat SNQ,
Akhirnya kami (mas husband dan saya) sampai kesini juga. Sebelumnya, kami hanya sampai di pintu parkir mobil -- bertanya pada pak petugas parkir -- kemudian pulang dengan tangan hampa karena kami datang terlalu pagi, saat itu alih-alih kapok, kami tidak lagi datang kemari. Ehh, rupanya kami masih berkesempatan datang dan menikmati wisata baru di Surabaya ini.
Mas husband berkata pada Chandra, "...sekitar satu dekade yang lalu, kami (keluarga Bapak Ari) ngantar bapakmu ke Papua dari sini can. Dulu, tempat ini ngga sebagus sekarang..."
Sembari menggandeng tangan saya (jangan baper ah, maklumi tho, ibu hamil ini biar ngga nggelundung makanya digandeng), do'i mengajak masuk ke pintu SNQ, naik eskalator menuju lantai dua kemudian naik eskalator lagi menuju lantai tiga. Ornamen langit-langit ruang tunggu kapal ditambah properti yang disediakan memang memberi kesan mewah pada pengunjung.
"Ini pelabuhan apa bandara, kok mewah begini", celetuk Chandra.
Kami semua setuju dengan celetukannya, hanya saja kami memendam dalam diam, ahaiy.
Tapi beneran, ngga rugi kalau kalian datang kesini, baik hanya berwisata di SNQ nya, maupun yang sedang menunggu kapal. Aduh sayangnya saya tak sempat mengabadikannya, tangan saya sibuk digandeng mas husband sih... #laahh.
Ada sebuah kapal -- buessarr -- yang memuat penumpang dan barang dan bertuliskan "let's go to Banda Naira", berhenti tepat di SNQ. Entah kapal ini hanya transit atau memang awal perjalanannya dari Surabaya, tidak ada informasi yang jelas mengenai hal itu. Yang jelas kapal ini terlihat sangat sibuk.
Fanaaasshh pemirsaaahh~ |
Matahari sore yang membakar wajah-wajah, tak menyurutkan minat para pengunjung untuk memperhatikan pemandangan : sunset, kapal besar, dan laut. Tapi tidak dengan kami berempat (terutama mas husband). Do'i merasa matahari pukul empat ini masih membuat mata silau, kami kurang bisa menikmati pemandangan. Benar juga. Jadilah kami masuk kedalam foodcourt ruang tunggu, nongkrong sebentar, nyemil, mengabadikan momen, ngobrol dan nyemil lagi.
Tak terasa satu jam telah berlalu, camilan dan minuman segera kami habiskan, kemudian bergegas ke luar foodcourt untuk menikmati matahari tenggelam. Indahnya...
Beruntung saya dapat mengabadikan matahari tenggelam pakai Samsung Galaxy S7 Edge, ciamik soroo jehh.
Hari sudah menjelang maghrib, rona orange senja menghiasi langit-langit, dan angin pun sudah mulai tidak bersahabat. Uniknya, pengunjung mulai berdatangan dari berbagai arah untuk melihat pemandangan senja. Apa yang enak dilihat ya, kalau tidak ada matahari tenggelam rasanya ada yang kurang.
Kami berempat berpindah ke sisi barat SNQ. Ada tempat luas yang beralaskan rumput-rumputan berwarna hijau. Mungkin ini adalah tempat nongkrong yang letaknya outdoor. Selain alas rumput palsu, disini juga disediakan tempat duduk yang terbuat dari kain parasit yang berisi sesuatu yang empuk. Sayangnya kami tidak kebagian.
Chandra menyapa dua orang baru yang berasal dari Papua -- prediksi Chandra -- dan ternyata benar. Sementara dia ngobrol dengan kawan barunya, saya dan mas husband kentjan lagi..hehe (kentjan = foto berdua wkwkwk).
Mas.. Yak apa kalo nanti anakmu lihat fotomu ini wkwkwkwk |
Adzan maghrib sudah selesai berkumandang. Dan kami bersiap untuk sholat maghrib di mushola kemudian pulang. Diyah dan Chandra akan menyeberang lewat Perak, sementara mas husband dan saya pulang ke rumah.
Saya berharap ada lagi waktu bermain seperti ini lagi, dengan saudara terutama. Semoga ada kesempatan.
~oOo~
Price List :
1. Parkir JMP : Rp 6.000,- / per motor
2. Gerbang Terminal : Rp 5.000,- / per motor
3. Parkir SNQ : Rp 3.000,- / motor
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.