|
Source : www.projectweekends.com |
Introduction : artikel ini saya buat dalam bentuk narasi panjang. Saya begitu menikmati perjalanan sampai lupa tidak sering mengabadikan moment dengan #S7EdgeLisa. Oleh sebab itu, saya akan berusaha untuk mendeskripsikannya dengan detail, mengganti foto dengan kalimat. Selamat membaca.
Hari ini diluar biasanya. Matahari bersinar terang dengan suhu yang hangat di awal winter. Kalau sudah matahari cerah begini, rasanya saya jadi pingin keluar rumah. Berjemur! Sekarang saya tau perasaan bule-bule diluar sana yang hobi ke negara tropis ketika akhir tahun. Mereka juga ingin bertemu matahari.
Ini masih weekday, aktivitas mas husband kalau ngga ke kampus ya ke kantor (hari ini ke kampus--Ulangan Tengah Semester), aktivitas saya (seperti biasa) bersih-bersih rumah dan nemenin Kia main, sementara aktivitas Kia makan; main; mandi; tidur. But, keinginan saya untuk keluar rumah mengajak Kia sangat membahana kuatnya, sama kuatnya dengan sinar matahari diluar sana. Hmm, dilema. Keluar engga keluar engga.
Siang hari saya mencolek mas husband lewat whatsapp. Dan seperti biasa lagi, dia kayak dukun, mampu membaca pikiran. Diluar panas? Masih ada mataharinya? Ayoklah siap-siap bu kalau mau keluar. Ditawarilah saya dua tempat : gunung atau laut.
Gunung? Laut? Gunung, hmm bawa Kia melewati tanjakan, sebentar-sebentar masih belum kepikiran rempongnya bagaimana dan kuat ngga si Ayah (mas husband). Laut, hmm ini nih yang kutunggu-tunggu, kan kepingin juga lihat laut, sudah lamaaaaaaaaaa banget anak laut ini ngga melihat laut. Kebayang kan kangennya bagaimana..
Laut..
Seperti yang dijanjikan, usai Ashar saya harus siap-siap berangkat agar bisa mengejar matahari terbenam di Tamsui. Sudah prepare barang-barang Kia sedari watsapan sama mas husband. Tapi nyiapin bayi ini butuh waktu satu jam sendiri. Berangkatlah kami berdua pukul empat sore naik bus 672 ke arah MRT Gongguan.
|
Hola ~ |
Mas husband sudah menunggu kedatangan kami. Ngga mau berlama-lama diluar, kami langsung masuk stasiun MRT Gongguan untuk menuju stasiun MRT Tamsui. MRT Gongguan berada di jalur warna hijau tengah kota Taipei, sementara MRT Tamsui berada di jalur merah (paling) ujung utara kota Taipei. Kami harus pindah jalur dari hijau ke merah di stasiun MRT Chiang Kai Shek Memorial Hall (stasiun terdekat).
Perjalanan Jauh
Hampir sejam lamanya kami berada di MRT jalur merah ini dan melewati 20 stasiun MRT. Wow juga sih. Ini perjalanan terpanjang kami selama berada di Taiwan dari bulan September kemarin.
Kia anak yang gampang bosan ini sudah pasti "bosan". Awalnya dia hanya mengoceh dan selalu buat gemas orang-orang disekelilingnya. Kemudian kebosanan meracuni. Berteriak, lonjak-lonjak, pingin turun dari gendongan mas husband. Ahh.. Yang sabar ya nak.. Saya tidak bisa memberi makan atau minum ke Kia, karena peraturan dilarang makan-minum di MRT, kalau melanggar denda berapa ribu NTD gitu saya lupa.
Saya juga merasa bosan. Untung bisa lihat sekeliling. Ya pemandangan disepanjang jalur merah yang menakjubkan, ya para penumpang yang fashionable, ya fashionable pakaiannya ya fashionable gadgetnya. Dan uniknya lagi, semua orang melebur di MRT. Orang kantoran, berjas, anak sekolah, mahasiswa, bule, tua, muda, semua rata. Ngga ada tuh kelas atas kelas bawah, semua rata semua sama. Sama-sama suka naik transportasi umum, in case MRT. Coba penduduk Indonesia seperti ini, ahh penduduk Indonesia mah kelas atas semua, maunya pakai kendaraan pribadi semua.
Tamsui
Tiba di Tamsui, kami disuguhi lagu remix dari grup band asal Taiwan yang mendunia di era 90an : F4. Tidak di MRT, tidak penyanyi halamannya, semua memasang lagu F4. Apakah ini desanya F4? hahaha. Melihat ke sekitar, ada banyak orang berkumpul menikmati indahnya tepi laut dan suasananya. Sayang sekali mataharinya keburu tenggelam.
Selain wisata tepi laut yang disajikan oleh Tamsui ini, juga ada night market yang letaknya berdekatan dengan tempat wisata. Unik ya, jadi keluar MRT jalan dikit ke barat sudah ada laut dan night market. Lalu tepat di timur MRT ada modernnya Tamsui, dari tempat makan mendunia sampai tempat berbelanja. Lalu sedikit ke selatan sudah ada halte bus. Disekitar stasiun MRT pun ada beberapa mini market, beberapa seniman yang menjual lukisan wajah, tempat isi ulang Easy Card, ada penjual jajanan, ada taman dengan fasilitas tempat duduknya yang unik bentuknya, dan yang paling adalah ornamen dari stasiun MRT Tamsui ini--Taiwan banget. Indah sekali hidup ini kalau semua fasilitas transportasi dan kebutuhan lain tidak jauh dari jangkauan.
Matahari yang keburu tenggelam ini menyisakan indahnya degradasi warna senja Selasa, 6 November 2018. Sambil menyuapi Kia dengan biskuit, saya menikmati angin laut yang sumilir berhembus tak henti-henti. Gusti Allah, matur nuwun, rindu terhadap laut telah terobati.
Mas husband mengajak jalan lebih jauh ke tepi laut. Tidak perlu takut, karena tepi Tamsui ini sudah diset aman pengunjung. Disepanjang tepian ada tempat duduk dan disepanjang tepian ini pula ada banyak yang berjualan jajanan cumi-cumi dan gurita yang digoreng tepung atau dipanggang. Jadi pengunjung atau wisatawan yang datang bisa bersantai menikmati suasana tepi laut sambil menikmati jajanan.
Sepanjang jalan saya masih menyuapi Kia dengan biskuit agar dia tidak kelaparan. Kemudian saya putuskan untuk berhenti sebentar, memberi minum Kia. Mas husband menawari ide untuk membeli squidwerd (sebutan dia untuk jajanan gurita) sementara Kia dan saya menunggu ditempat duduk. Okelah. Mas husband pergi beli makanan dan Kia mikcu agar bisa tidur (karena sudah keliatan ngantuk).
Angin malam yang dingin ditambah angin daratan yang bergerak ke laut sangat kencang membuat saya melihat jam ditangan. Baru lewat pukul lima tapi suasana sudah gelap. Kia tertidur hangat di tangan berkat jaket mungilnya yang saya selimutkan di badan dan kepalanya. Beberapa orang asyik memainkan mainan yang baru dibelinya, berbentuk seperti palu dari balon plastik. Beberapa orang juga terlihat lihai memainkan pancingannya agar ikan-ikan tertarik menggigit mata kail pancingannya. Banyak sekali orang yang beraktivitas di tepi laut tanpa menghiraukan kencangnya angin malam. Bahkan ada beberapa perempuan yang terlihat hanya pakai baju tanpa pakai celana (atau mungkin pakai celana tapi tertutup oleh baju besarnya). Apa mereka ngga kedinginan ya?
Mas husband datang membawa semangkok (yang terbuat dari sterofoam) isinya gurita goreng tepung dan daun kemangi. Asli ya, kemangi nya Taiwan ini baunya lebih menusuk dan rasanya lebih pahit ketimbang kemangi Indonesia. Kalau disuguhin masakan yang ada kemangi Taiwan, selalu saya sisihkan kemanginya. Tapi jangan ditanya rasa gurita nya bagaimana. Enak parah! Sayang, baru ingat belum sempat difoto ketika guritanya sudah habis.
Tamsui Night Market
Usai makan gurita, kami bergegas menuju night market sebelum toko-tokonya pada tutup. Disini night market tidak buka sampai jam 12 malam seperti yang saya bayangkan sebelumnya (saat main ke Ximen Night Market). Beberapa toko di night market Taipei justru tutup pukul 19.30.
Dari toko ke toko, kami masuk dan memanjakan mata (ngga beli wakakakak, mihil mihil soalnya). Toko oleh-oleh pertama yang saya masuki membuat saya teringat : saya butuh kaca mata untuk membantu mata melihat lebih terang di malam hari. Selama hamil hingga sekarang, kalau melihat lampu-lampu jalan di malam hari, kadang ada pendaran dari lampu yang membuat pandangan saya jadi kabur. Kalau sudah kabur, buat saya makin banyak berkedip hingga kepala jadi pusing. Makin buruk setelah pindah ke Taiwan. Ketahuannya karena kami sering "jalan" di malam hari, dan jalan-jalannya bukan indoor alias tidak ke mall. Belum pernah periksa mata lagi sejak tahun 2012, alasannya mata saya sehat kok.
|
Untung ngga ditarik uang sewa kaca mata |
Toko tersebut menyediakan banyak model kaca mata dengan segala kualitasnya, harganya pun sebanding dengan kualitasnya. Galau kan jadinya harga segitu buat beli kaca mata, bisa buat tiga hari makan sama Kia hahaha. Alhasil saya menunda untuk tidak beli kaca mata.
Sepanjang jalan night market terdapat beragam toko dengan beragam pula yang dijual. Sepatu, aksesoris, aksesoris gadget, makanan berat, jajanan, minuman, olahan buah yang dibuat jadi nugget dan manisan (semacam berbentuk seperti dodol kalau di Indonesia), roti dan snack unik khas negeri yang terkenal dengan Kpop nya, dan masih ada banyak lagi. Di Tamsui Night Market ini juga terdapat tempat sembahyang penduduk sekitar, kalau tidak salah bentuknya seperti Klenteng-Klenteng di Surabaya. Uniknya semua tempat sembahyang ini menghadap ke arah laut.
Tergoda dengan bentuk dan warnanya yang merah (mungkin) alasan mas husband membeli manisan buah yang ditusuk. Ada dua pilihan buah : Strawberry dan Leci-Arbei. Keduanya punya harga yang berbeda. Strawberry lebih mahal ketimbang Leci-Arbei. Mas husband pilih Leci-Arbei. Rasanya gimana? Manis kecut segar. Manis karena gulali-manisannya, kecut segar karena buahnya.
|
Screenshoot IG @limaura_ |
Kami bertemu persimpangan dan harus memilih : kiri atau kanan. Jalan sebelah kiri lebih sepi. Kami memilih jalan yang sebelah kanan karena masih ramai oleh pengunjung.
Serasa masih kepingin menikmati jajanan squidwerd, mas husband mengajak untuk melipir ke kiri menuju toko penjual jajanan khas Tamsui ini. Ada banyak macam yang dijual di toko tersebut, jajanan ringan dan makanan berat. (Ringan kapas, berat batu #Halah #Lupakan). Pikir saya, agar Kia bisa menikmati, saya justru memilih beli ayam goreng tepung ketimbang squidwerd goreng tepung. Rupanya setelah di
incip kan, Kia nya ngga suka. Emang rasanya aneh sih (menurut lidah Indonesia seperti saya ya), rasa khas Taiwan pokoknya.
Kaca Mata
Usai membeli ayam goreng tepung untuk Kia (yang ternyata Kia nya ngga suka, huft), saya tergoda ke sebuah toko yang menjual kaca mata di etalase terdepannya. Ijinlah saya ke mas husband sebelum ke toko.
Hmmm kaca matanya ketje parah. Lihat harganya, hmm, pantas sih, sesuai sama kualitas barangnya. Berapa? Sama seperti ditempat sebelumnya, bisa buat makan di New Taipei City sama Kia selama tiga hari.
Beli, engga.
Beli, engga.
Beli, engga.
Beli lah bu,
Oke yah, pake tabungan aku sendiri deh.
Pecahlah celengan demi kaca mata. Kebutuhan lis, kebutuhan. Ngga papa, nanti nabung lagi.
Lega sekali kaca mata idaman sudah berada di tangan. Bersyukur sekali saya. Pikiran melayang dan mengucap rasa syukur ketika mampu membeli barang bagus di Taipei, kota utama di Taiwan. Benar juga, sangat ngoyo rasanya hidup ini jika pemasukan dari Indonesia namun pengeluarannya di Taiwan. Tapi jika sudah mendapat pemasukan dari Taiwan, sudah bisa bernafas lega ketika membelanjakan isi dompet.
Wah, kaca matanya bagus, beli dimana Lis?
Kenang-kenangan dari Tamsui nih,
Mana itu?
Paling ujung barat laut kota Taipei..
Makan Terus..
Jajanan night market memang beragam dan selalu mengundang orang untuk membeli. Lagi, mas husband tertarik dengan jajanan yang namanya Red Bean Cake, mirip seperti dorayaki nya Doraemon tapi bentuknya lebih kotak dan kulit luarnya berwarna putih. Mampir lah beli dua bungkus cake rasa vanila (satu bungkus berisi 2 cake).
Tak terasa sudah sampai diujung night market. Kami mencari tempat sampah terlebih dahulu sebelum menuju stasiun MRT Tamsui. Duh ya, cintanya saya terhadap negeri ini, walau tak ada tong sampah
keleleran disepanjang night market, tidak terlihat satupun orang yang membuang sampah sembarangan, jadi sepanjang jalan bersih asri dan terbebas dari sampah. Andai Indonesia seperti ini.. (lagi-lagi ada hal yang bikin saya mbandingin Taiwan-Indonesia). Oh..
Jalanan menuju stasiun MRT, ada penjual jajanan telur puyuh goreng. Hebohlah mas husband memberi informasi ini ke saya,
it means ajakan untuk membeli. Ya ya ini kesukaan mas husband. Beli lah ayy, mumpung ada dan halal (kami menganut sistem ABUBA untuk bertahan hidup di Taiwan, Asal BUkan BAbi).
|
Screenshoot IG @limaura_ |
|
Screenshoot IG @limaura_ |
Selama penjual menggoreng telur puyuh, ada pembeli--anak kecil laki-laki, usia sekitar masih SD, menyapa Kia.
Keke (panggilan untuk kakak laki-laki di Taiwan) ini soswiit, sering menyapa dan ngajak ngomong Kia. Walau kami bertiga tak ada yang mengerti terjemahan dari kalimat Keke, tapi bahasa tubuh si Keke mengisyaratkan tentang keramahannya terhadap Kia.
Telur puyuh goreng panas sudah masuk tas tenteng (yang berisi full makanan), kami jalan ke stasiun MRT. Sudah tidak beli-beli lagi, sudah terlalu banyak pengeluaran hahaha. Tong sampah yang dicari, hanya ditemukan disekitar stasiun MRT, setelah membuang sampah plastik, kami beristirahat sebentar di tempat duduk untuk pengunjung.
Biaya MRT dari Gongguan ke Tamsui lumayan menguras isi Easy Card saya. Easy Card harus diisi ulang sebelum saya melakukan perjalanan pulang. Kalau tidak bisa minus banyak. Saya mendekat ke Self Buying Easy Card dan
top up sekalian yang banyak biar ngga cepat habis (ini ide mas husband-uangnya juga dari mas husband dongs ha ha).
Lihat jam tangan, eh masih jam tujuh aja. Nongkronglah kami sebentar disini sambil nyemilin jajanan, kalau saya ya
ndulang Kia. Pertama, saya coba lagi kasih ayam goreng tepung yang dibeli tadi, rupanya Kia masih ngga mau. Kedua, saya coba kasih telur puyuh goreng, eeeh Kia doyan, habis deh itu satu tusuk telur puyuh goreng (satu tusuk isi 4 telur puyuh), masih sisa satu tusuk lagi. Lalu mas husband berinisiatif untuk membeli lagi telur puyuh goreng. Lama sekali perginya, ternyata mas husband pulang dengan tangan hampa. Penjual telur puyuh goreng yang tadi sudah tutup. Mas husband mencari penjual lain namun tidak menemukan penjual yang menjual telur puyuh goreng. Hmmm. Jadilah Kia makan bubur MPASI yang saya bawa dari rumah. Lahap dan habis dengan cepat. Alhamdulillah..
Ada banyak ras yang berada (atau hanya sekedar lewat) di MRT Tamsui ini. Ada yang dari Eropa, ada yang dari India, ada yang dari Asia Tenggara, ada yang dari Korea. Macam-macam. Yang tak disangka pula ada (maaf) gelandangan yang
stay dan entah apa yang mereka tunggu. Jadi ingat kejadian tadi saat kami baru duduk menikmati senja di tepi Tamsui, ketika saya sedang menyuapi Kia dengan biskuit kesukaannya, kami dihampiri seorang pria paruh baya memakai pakaian lusuh dan membawa tas putih tipis dilengannya. Pria ini menyodorkan dua kartu (yang entah apa fungsinya) dan berkata dengan nada memelas. Kami tidak mengerti apa maksudnya, hingga sampai saya (sedikit) tertampar sadar bahwa pria ini sedang meminta-minta. Oh god, saya kira di Taiwan semua penduduknya sejahtera dan tidak ada pengemis atau bahkan gelandangan. Rupanya pendapat saya di Tamsui ini terbantahkan. Jika di tepi laut kami dihampiri oleh pengemis, maka di stasiun MRT Tamsui kami ditemani oleh gelandangan.
Pulang
Pukul delapan lebih sepuluh, kami naik MRT menuju Gongguan. Lagi, hampir satu jam kami menempuh perjalanan dengan MRT. Jangan tanyakan keadaan Kia, yang jelas dia bosan parah. Dan juga jangan tanyakan berapa harga MRT yang harus dibayar dari Tamsui ke Gongguan. Lebih mahal pulang daripada berangkat men. Mungkin karena sudah malam jadi harga dinaikkan hahaha. Dari Gongguan, kami naik bus 254 menuju apartemen.
Saya ingin kembali ke Tamsui suatu hari nanti, menikmati lagi suasana laut dengan sunset (yang lebih awal) serta mengabadikan momennya.
Dengan berakhirnya perjalanan, berakhir pula cerita saya. Semoga narasi panjang ini menghibur dan menambah informasi temans.