Terasa amat lama tidak menyentuh laptop dan menulis artikel di blog. Bagaimana tidak lama, hampir tiga bulan. Dan sekarang saya bisa menulis dengan ditemani Kia yang sedang tidur mulet mulet dipangkuan.
Kia itu...?
Pertama-tama akan saya perkenalkan dulu, Kiasatina Andini Alamsyah, bayi mungil cantik nan aktif (gerakan dan minum susunya) yang terpaksa harus dikeluarkan dari perut saya diusia kehamilan 28 minggu 5 hari dengan jalan sesar karena PEB yang datang menyerang tiba-tiba.
Kia adalah amanah dari Allah untuk saya dan suami.
Saat berada dimeja operasi, 30 menit lebih merasa kedinginan dan mati rasa ditubuh bagian bahu hingga kaki, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Saking begitu kencangnya, mata saya serasa terbangun sebentar. Jalan nafas saya yang terasa sesak akibat obat bius terasa lancar sesaat. Bayi yang selama 28 minggu 5 hari bersama saya pergi kemana-mana akhirnya lahir ke dunia. Dan dia menangis.
Allahu akbar...
Proses melahirkan Kia begitu cepat. Allah melancarkan semuanya dan saya hanya merasakan sedikit sakit. Saya sangat bersyukur.
Kok Bisa Preklampsia?
Setelah berhasil melewati penyakit Preklampsia dan banyak berdiskusi dengan dokter, bidan, perawat dan anak magang, saya bisa menyampaikan sebagai berikut. Preklampsia ibarat halilintar yang datang tiba-tiba, dan dalam dunia medis belum diketahui secara jelas penyebab kedatangannya. Preklampsia atau bahasa awamnya keracunan kehamilan biasanya ditandai dengan tekanan darah ibu yang meninggi.
Seperti dalam kasus saya, ketika protein urin ginjal saya +3 (saat di puskesmas) dan +4 (saat di rumah sakit); kemudian kaki dan muka saya bengkak; kemudian ketika di rumah sakit janin terdiagnosa hanya mendapat sedikit nutrisi dari ibu sehingga janin tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya; tekanan darah saya tak kunjung turun; ginjal saya tidak mampu menyaring darah dan air dengan baik (sehingga urin saya berwarna coklat seperti susu milo - kata mas husband). Saya didaulat menderita Preklampsia berat, yang mana janin harus segera dikeluarkan agar bisa selamat ibu dan bayinya.
Awal cerita...
Rabu pagi, hari yang ditunggu-tunggu untuk kontrol kehamilan ke puskesmas. Dengan diantar Ibu, kami berangkat dan alhamdulillah pendamping kehamilan yang sering kerumah mendahulukan saya. Saya dipanggil masuk tanpa Ibu. Saya menjalani pendataan rutin, dari data keluarga hingga data kesehatan tubuh Ibu. Kemudian saya dipanggil masuk ke ruangan lain oleh seorang bidan senior bernama Ibu Mujiastutik.
Saya diminta berbaring ditempat tidur. Lalu datang seorang perawat menensi saya. 120 per 80. Bu Mujiastutik meminta saya miring kekiri selama satu menit, kemudian beliau meminta mbak perawat tadi untuk menensi ulang saya, bukan dengan tensi biasanya, melainkan dengan tensi push, katanya.
120 per 90. Disinilah pengalaman sesar saya berawal. Beliau berkata dengan nada tiga perempat tinggi, bahwa bengkak saya seharusnya tidak dibiarkan, karena akhirnya menjalar ke bagian tubuh lain. Siapa yang menyangka bengkak di kaki saya akan berbeda dampak dengan bengkak di kakinya orang hamil kebanyakan. Ibu Mujiastutik meminta saya pergi ke laboratorium puskesmas unttuk tes urin.
Petugas laboratorium memanggil saya dan menyerahkan kertas laporan setelah 30 menit dari pengambilan urin. Petugas lab sempat berkata protein urin saya +3 dan positif terkena preklampsia. Sementara saya masih belum paham apa itu pengertian protein urin +3 dan preklampsia, saya langsung saja menyerahkan kertas laporan ke Bu Mujiastutik.
Ibu Mujiastutik meminta pendamping kehamilan, mbak Devi, untuk memanggil Ibu saya. Beliau memarahi kami karena menggampangkan bengkak, kemudian mengharuskan saya untuk ngamar di rumah sakit malam ini, tidak boleh ditunda.
Saya tidak berani mengambil tindakan langsung ke IGD rumah sakit. Selain karena mas husband sedang bekerja, juga nanti malam masih ada janji dengan dokter obgyn. Saya menunggu dirumah sambil sedikit bersantai.
Usai sholat maghrib, saya diantar mas husband pergi ke dokter obgyn di sebuah klinik di Surabaya. Dokter obgyn ini bernama Ibu Uning, istri dari dosennya mas husband. Biasanya saya menemui beliau di rumah sakit tempat beliau praktek, namun beliau menyarankan untuk pertemuan selanjutnya kontrol di klinik saja.
Sebelum bertemu dengan Bu Uning, saya diwajibkan untuk mengisi data di bagian administrasi. Dalam pengisian data, mewajibkan saya untuk cek kesehatan termasuk mengukur tekanan darah. Mbak bagian administrasi mengulang alat tensi otomatis hingga tiga kali. Saya pun menanyakan ada apa, dan mbak tersebut menjawab dengan nada terheran-heran, "tekanan darah mbak stak di 170...".
Saya mendapat nomor antrian 23 dan yang baru keluar dari ruang praktek adalah nomor tujuh. Itu berarti saya harus menunggu cukup lama untuk bertemu dengan Bu Uning.
Tiba-tiba dari dalam ruang praktek nama saya dipanggil. Saya bertanya pada perawat yang membantu Bu Uning, bukankah nomor urut saya masih lama? Mbak perawatnya sekaligus Bu Uning menjawab bebarengan kalau tekanan darah saya tinggi dan saya termasuk katagori pasien gawat.
Saya diminta berbaring di tempat tidur sementara mas husband diminta duduk di sofa dekat pintu.
Tekanan darah, adalah hal pertama yang mereka periksa. Dan yap angka alat tensi membuat Bu Uning beserta perawat terheran-heran : 180 per 115. Kemudian Bu Uning memeriksa perut saya sembari berkata "jangan panik.. jangan panik..". Saya adalah orang yang slow dan jarang kepikiran. Suami juga slow. Atau bisa dibilang kami berdua tidak tau menau sebab angka 170 dan 180 membuat orang panik.
Setelah memeriksa, beliau berbicara dengan lembut, "Mbak, saya minta maaf jika nanti saya tidak bisa mengikuti persalinannya...". Barulah saya jadi kepikiran. Apakah saya akan melahirkan dalam waktu dekat?
bersambung...
Kia adalah amanah dari Allah untuk saya dan suami.
Saat berada dimeja operasi, 30 menit lebih merasa kedinginan dan mati rasa ditubuh bagian bahu hingga kaki, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Saking begitu kencangnya, mata saya serasa terbangun sebentar. Jalan nafas saya yang terasa sesak akibat obat bius terasa lancar sesaat. Bayi yang selama 28 minggu 5 hari bersama saya pergi kemana-mana akhirnya lahir ke dunia. Dan dia menangis.
Allahu akbar...
Proses melahirkan Kia begitu cepat. Allah melancarkan semuanya dan saya hanya merasakan sedikit sakit. Saya sangat bersyukur.
Kok Bisa Preklampsia?
Setelah berhasil melewati penyakit Preklampsia dan banyak berdiskusi dengan dokter, bidan, perawat dan anak magang, saya bisa menyampaikan sebagai berikut. Preklampsia ibarat halilintar yang datang tiba-tiba, dan dalam dunia medis belum diketahui secara jelas penyebab kedatangannya. Preklampsia atau bahasa awamnya keracunan kehamilan biasanya ditandai dengan tekanan darah ibu yang meninggi.
Seperti dalam kasus saya, ketika protein urin ginjal saya +3 (saat di puskesmas) dan +4 (saat di rumah sakit); kemudian kaki dan muka saya bengkak; kemudian ketika di rumah sakit janin terdiagnosa hanya mendapat sedikit nutrisi dari ibu sehingga janin tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya; tekanan darah saya tak kunjung turun; ginjal saya tidak mampu menyaring darah dan air dengan baik (sehingga urin saya berwarna coklat seperti susu milo - kata mas husband). Saya didaulat menderita Preklampsia berat, yang mana janin harus segera dikeluarkan agar bisa selamat ibu dan bayinya.
Awal cerita...
Rabu pagi, hari yang ditunggu-tunggu untuk kontrol kehamilan ke puskesmas. Dengan diantar Ibu, kami berangkat dan alhamdulillah pendamping kehamilan yang sering kerumah mendahulukan saya. Saya dipanggil masuk tanpa Ibu. Saya menjalani pendataan rutin, dari data keluarga hingga data kesehatan tubuh Ibu. Kemudian saya dipanggil masuk ke ruangan lain oleh seorang bidan senior bernama Ibu Mujiastutik.
Saya diminta berbaring ditempat tidur. Lalu datang seorang perawat menensi saya. 120 per 80. Bu Mujiastutik meminta saya miring kekiri selama satu menit, kemudian beliau meminta mbak perawat tadi untuk menensi ulang saya, bukan dengan tensi biasanya, melainkan dengan tensi push, katanya.
120 per 90. Disinilah pengalaman sesar saya berawal. Beliau berkata dengan nada tiga perempat tinggi, bahwa bengkak saya seharusnya tidak dibiarkan, karena akhirnya menjalar ke bagian tubuh lain. Siapa yang menyangka bengkak di kaki saya akan berbeda dampak dengan bengkak di kakinya orang hamil kebanyakan. Ibu Mujiastutik meminta saya pergi ke laboratorium puskesmas unttuk tes urin.
Petugas laboratorium memanggil saya dan menyerahkan kertas laporan setelah 30 menit dari pengambilan urin. Petugas lab sempat berkata protein urin saya +3 dan positif terkena preklampsia. Sementara saya masih belum paham apa itu pengertian protein urin +3 dan preklampsia, saya langsung saja menyerahkan kertas laporan ke Bu Mujiastutik.
Ibu Mujiastutik meminta pendamping kehamilan, mbak Devi, untuk memanggil Ibu saya. Beliau memarahi kami karena menggampangkan bengkak, kemudian mengharuskan saya untuk ngamar di rumah sakit malam ini, tidak boleh ditunda.
Saya tidak berani mengambil tindakan langsung ke IGD rumah sakit. Selain karena mas husband sedang bekerja, juga nanti malam masih ada janji dengan dokter obgyn. Saya menunggu dirumah sambil sedikit bersantai.
Usai sholat maghrib, saya diantar mas husband pergi ke dokter obgyn di sebuah klinik di Surabaya. Dokter obgyn ini bernama Ibu Uning, istri dari dosennya mas husband. Biasanya saya menemui beliau di rumah sakit tempat beliau praktek, namun beliau menyarankan untuk pertemuan selanjutnya kontrol di klinik saja.
Sebelum bertemu dengan Bu Uning, saya diwajibkan untuk mengisi data di bagian administrasi. Dalam pengisian data, mewajibkan saya untuk cek kesehatan termasuk mengukur tekanan darah. Mbak bagian administrasi mengulang alat tensi otomatis hingga tiga kali. Saya pun menanyakan ada apa, dan mbak tersebut menjawab dengan nada terheran-heran, "tekanan darah mbak stak di 170...".
Saya mendapat nomor antrian 23 dan yang baru keluar dari ruang praktek adalah nomor tujuh. Itu berarti saya harus menunggu cukup lama untuk bertemu dengan Bu Uning.
Tiba-tiba dari dalam ruang praktek nama saya dipanggil. Saya bertanya pada perawat yang membantu Bu Uning, bukankah nomor urut saya masih lama? Mbak perawatnya sekaligus Bu Uning menjawab bebarengan kalau tekanan darah saya tinggi dan saya termasuk katagori pasien gawat.
Saya diminta berbaring di tempat tidur sementara mas husband diminta duduk di sofa dekat pintu.
Tekanan darah, adalah hal pertama yang mereka periksa. Dan yap angka alat tensi membuat Bu Uning beserta perawat terheran-heran : 180 per 115. Kemudian Bu Uning memeriksa perut saya sembari berkata "jangan panik.. jangan panik..". Saya adalah orang yang slow dan jarang kepikiran. Suami juga slow. Atau bisa dibilang kami berdua tidak tau menau sebab angka 170 dan 180 membuat orang panik.
Setelah memeriksa, beliau berbicara dengan lembut, "Mbak, saya minta maaf jika nanti saya tidak bisa mengikuti persalinannya...". Barulah saya jadi kepikiran. Apakah saya akan melahirkan dalam waktu dekat?
bersambung...
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.