Ikut Suami Lanjut Sekolah di Taiwan? Siapa Takut!

Akhirnya saya keluar juga dari zona nyaman  saya. Tinggal jauh dari rumah orang tua yang super duper nyaman, tinggal di negara yang belum pernah saya ketahui (bahkan mimpi pun tidak ingin saya ketahui), tinggal hanya bersama dengan suami dan anak, harus bisa survive dan jadi orang tua tunggal bagi bayi saya yang sedang aktif-aktifnya alias tidak bisa diam.

Pada saat suami bilang, "Bu, aku pingin dan harus lanjut sekolah lagi. Aku pinginnya balik ke Taiwan". Disitulah saya langsung merasa : omaigatt. Segala bentuk ke-inability-an saya langsung menyerebak mempengaruhi otak dan bikin hati menciut. Bisa ngga saya hidup hanya bertiga di negeri orang???

Disisi lain, hati saya berontak. Perlakuan orang tua lah yang membuat hati berontak. Selama 26 tahun hidup manja dan segala apa-apanya tidak pernah tidak ada, hmm membuat saya ingin kembali menjadi pribadi yang sedikit tangguh seperti saat saya menjadi anggota menwa. Saya perlu kemandirian membangun keluarga kecil ini. Dan saya perlu membangun pribadi si kecil menjadi pribadi yang kuat dan tidak manja.

Saya bulatkan tekad dan saya katakan, SAYA BISA !




 
~oOo~



Setelah Singapura, negeri orang yang kali pertama saya kunjungi, ada Taiwan yang nantinya selama 4-5 tahun akan saya tinggali. Dengan percaya diri saya katakan, saya mudah beradaptasi. Selama satu bulan ini saya bisa mengatasi beberapa kesulitan, melewati susah senang, tentunya karena ada mas husband dan Kia. Saya sangat bersyukur memiliki semuanya dan saya sangat bersyukur karena di Taiwan saya cepat beradaptasi.

Apa yang paling susah di Taiwan? Bagi saya, ada tiga hal yang susah di Taiwan : makanan, tempat sholat dan bahasa.

Makanan.
Huft, bagaimana tidak susah. Di Taiwan, jenis rempah tidak selengkap di Indonesia. Tidak ada bawang merah, susah (dan mahal) cabai kecil, tidak ada kunci laos kunyit, oh... Ditambah lagi disini daging babi adalah makanan yang ladzim disajikan. Di setiap resto selalu tersedia menu Pork, bahkan di jajanan jalanan (food street) sekalipun sangat sedikit yang menyajikan hanya daging ayam atau ikan saja. Itupun juga jarang sekali ada logo halal nya.

Bagaimana cara mengatasinya? CARI makanan yang berlogo halal. Susah? Banget. Jika temans baru saja datang ke Taiwan, cari toko Indonesia. Syukur-syukur dari situ punya kenalan teman syar'i yang lama tinggal di Taiwan, sehingga temans bisa ngulik dimana saja tempat makan yang halal dimakan. Cara yang kedua PERGI ke masjid, karena didekat masjid pasti ada resto Indonesia yang menyediakan masakan Indonesia dan in sya allah halal. Ini gampang sekali, karena di Taipei hanya ada dua masjid disini. Masjid besar (Taipei Grand Mosque) dan masjid kecil (Taipei Cultural Mosque). Googling saja, pasti langsung diarahkan oleh Google Map. Yang ketiga MASAK sendiri. Yang terakhir PILIH opsi makan, ABUBA (asal bukan babi) atau hidup syar'i.

Mas husband memberikan opsi pada saya mau ABUBA atau syar'i. Demi bertahan hidup kami memilih untuk hidup ABUBA, bukan asal ABUBA layaknya orang gaul Indonesia yang datang ke Taiwan ya, tapi kami ABUBA yang selektif. Kami hanya makan daging (sapi dan kambing), ayam, ikan serta vegetarian, walau yang masak bukan orang islam (semoga diampuni oleh Allah).

Sejauh ini, sehari-harinya kami makan dari kantin NTUST tempat mas husband lanjut S3 nya. Beruntungnya kami di kantin tersebut terdapat POJOK HALAL yang berisi olahan ayam halal. Walau harganya lebih mahal ketimbang harga makanan selain POJOK HALAL, tapi terjamin halalnya (mulai dari mengolah ayam; memasak dan menyajikan ayam tersebut dengan cara dan peralatan yang khusus). Kemudian juga ada sebuah toko dalam kantin yang khusus menyediakan makanan yang semua menunya dari tumbuh-tumbuhan, kami menyebutnya Toko Vege. Pojok halal dan Toko Vege adalah dua toko andalan kami kesehariannya. Selain itu, setiap weekend, saya juga memasak di apartemen. Pasar dekat, tinggal belanja lalu dimasak. Di pasar ini kami kebanyakan hanya belanja sayur, buah dan bumbu-bumbu. Kalau belanja daging dan ayam, kami belanja di Taipei Grand Mosque tiap hari Jum'at. Karena setiap hari Jum'at, ada ruangan khusus tempat jual-beli daging dan ayam yang masih mentah maupun yang sudah diolah menjadi masakan siap makan. Kalau sedang jalan-jalan, saya selalu sangu makan dari apartemen dan biskuit untuk si kecil, sementara saya dan mas husband selalu makan di tempat yang sudah saya sebutkan di atas.


Tempat Sholat.
Huft (lagi). Ini juga hal yang paling susah dicari. Tidak semua tempat ada tempat sholatnya. Ini bukan negara islam, jadi ya wajarlah. Jika sedang bepergian, seringnya kami transit dulu ke kampus NTUST untuk sholat. Jika waktunya benar-benar mepet, kami menQada' sholat. Semoga Allah mengampuni.


Bahasa.
Ini juga menjadi kendala buat kami, terutama saya. Mas husband yang notabennya pernah belajar disini waktu S2, sudah bisa berbahasa Mandarin walau seidkit-sedikit. Lah saya, BLASS. Taunya cuma wo pu ce tao (saya tidak tahu), xie xie (terima kasih), hao (baik/iya--bahasa formal), ni hao (apa kabar) dan beberapa angka serta nilai uang (kena uang aja cepet belajarnya hahahaha). Solusinya adalah belajarrr. Yaaa, saya yakin saya bisa bahasa Mandarin. Dan nanti kalau pulang ke Indonesia, Kia ngomong wo pu ce tao ke Eyang dan Mbahnya #Lho.


Di Taiwan tidak banyak susahnya, yaa mungkin selain tiga hal diatas juga ada Lantai 6 tanpa lift, yap itu apartemen kami huahuahua. Di Taiwan banyak senangnya. Diantaranya adalah fasilitas umumnya. Ya Allah... Seumur-umur tinggal di Indonesia, saya tak pernah puas sama fasilitas umumnya, karena ada aja manusia-manusia gaul Indonesia yang merusak atau tidak peduli dan tidak menjaga fasilitas tersebut. Tapi disini, di Taipei Taiwan, temans akan melihat betapa berbedanya perilaku manusia-manusianya. LEBIH BERADAB, LEBIH PUNYA TOLERANSI, LEBIH CAKAP TANGKAS DAN TAK BANYAK BIROKRASI.

Saat di MRT maupun bus, saya yang membawa Kia selalu diprioritaskan oleh orang-orang, diberi tempat duduk, diberi pegangan, diberi ruang. Di Indonesia? Boro-borooo. Dilirik aja kagak.

Banyak pula cerita dari kawan-kawan di Taiwan yang sering ketinggalan barang di Taxi atau di U-bike atau di MRT. Keesokan harinya barang-barang tersebut sudah ada dikantor atau di apartemen atau dikelas kampus. Dan bahkan ada yang pula bercerita ketinggalan barang disebuah taman, keesokan harinya dilihat barang tersebut tidak berubah posisi ditempat yang sama. Di Indonesia? Belum ada semenit barang itu sudah tak ada ditempatnya.

Mas husband pun pernah bercerita, saat akan daftar ulang di NTUST, ada satu dokumen yang tidak ada salinan copy nya. Kalau di Indonesia : mas, fotokopi dulu, itu disebelah sana ada fotokopi. Di NTUST Taiwan : belum difotokopi ya? saya fotokopikan dulu kalau begitu. Maka nikmat mana yang akan kamu dustakan? Ngga perlu jauh-jauh nyari fotokopian.

Kalau semisal ada kejadian yang nantinya akan menghentikan aktivitas, akan ada surat atau edaran yang berisi pemberitahuan bahwa tanggal sekian jam sekian akan ada ini ini ini itu. Jadi kita punya waktu buat prepare. Seperti yang terjadi hari Sabtu tanggal 6 kemarin, ada pemadaman listrik dari jam 9 pagi hingga jam 3 sore. Sekitar dua minggu sebelumnya sudah ada pengumuman tentang pemadaman listrik yang tertempel di pintu apartemen. Kemudian juga yang sering saya alami dalam sebulan ini, ada pemberitahuan via notifikasi handphone (saat itu S7 Edge saya sedang pakai kartu Indonesia dan pakai paketan rooming internasional) tiga hari sampai seminggu sebelum badai dan thypoon terjadi di Taiwan. Jadi kami bisa membatalkan dan atau menunda acara outdoor sampai badai dan thypoon selesai. Di Taiwan semua ada kepastian dan semua ditepati. Di Indonesia? PHP mulu isinya, apalagi birokrasinya, kepanjangan men.

Mau cerita public service di Taiwan ngga ada selesainya. Semua bagus, semua perfect dan semua good. Buat Indonesia, ini WAJIB dicontoh.


~oOo~


Jadi dari satu bulan adaptasi inilah saya makin yakin bahwa saya bisa melalui 4-5 tahun hidup di Taiwan. Selama ada mas husband dan Kia, saya mampu menjalaninya. Selama selalu berkabar dengan keluarga di Indonesia, saya makin bersemangat menjalani hari-hari di Taiwan.

Ada satu lagi cerita mengenai teman yang mungkin dia kepo sehingga melontarkan pertanyaan yang menurut saya "itu pertanyaan usil banget siiihhh". Begini dialognya...
Dia : Kerja di Taipei ta Lisa suamimu?
Saya : Lanjut studinya
Dia : Kamu g sekalian lanjut juga kah? Hhiiihii
Saya : Bisa diatur tuhh. Klo anak bisa ditinggal hehe

Kalau teman yang deket banget nanya begituan sih ngga masalah, lha ini, emang dulu kita temenan sih, tapi untuk komunikasi aja juarang. Tiba-tiba muncul dia nanya begituan, ya siapa ngga kayak kesentil gitu ya.hahaha. Apalagi kan dia dan saya sama-sama sudah menjadi Ibu, sudah merasakan mengurus anak dari bayi sampai sekarang sendiri. Bisalah toleransi dikit tidak bertanya begitu, kan saya jadi gemasss. Kan saya juga kepengen lanjut sekolah lagi. Nahh gimana coba menurut temans, punya keinginan lanjut sekolah, namun juga punya bayi dan cuma hidup bertiga di negeri orang?

Yaa minta doanya semua, semoga nanti ketika Kia sudah lebih besar sehingga tidak terlalu ketergantungan sama saya dan saya memperoleh beasiswa, semoga saya mampu untuk lanjut studinya. Aamiin ya rabb..

6 komentar

  1. Selamat berjuang di Taiwan ya Mas Alam dan Mbak Lisa... Sukses selalu di sana. Salam dari pelosok Desa di Bojonegoro hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sukses juga buat kak Didik yaaa. Semangat dalam membangun Bojonegoro melek IT :)

      Hapus
  2. Walaupun belum menikah, baca ceritanya, kok aku jadi kepikiran kalau nanti aku ke suami juga harus tinggal dinegara orang apakah bisa? hehe... Semoga kakak bersama keluarga kecil bisa betah disana ya kak. Stay save ka^^ :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasi yaa. Kami betah banget disini hihi. Lain waktu coba deh, asik loo merantau. Pasti bisaa b^^

      Hapus
  3. Halo Ka Lisa, salam kenal 😊
    Saya semakin termotivasi setelah membaca tulisan Kaka,
    Kondisi yg akan saya alami tahun ini, suami lanjut study di Taiwan dan anak masih usia 1 tahun, harus bisa hidup mandiri bertiga disana nantinya.

    Kalau berkenan mau bertanya mengenai pengurusan visa untuk ikut suami study di Taiwan Ka 🙏,
    apakah semua dokumen yg diperlukan harus diterjemahkan kedalam bahasa mandarin?

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum,
    Salam kenal Ka Lisa,
    Setelah membaca tulisan ini saya hadi semakin termotivasi 😊
    Kondisinya sama dengan yg akan saya alami tahun ini,
    Suami lanjut study di Taiwan, dan anak masih usia 1 tahun.
    Kami harus bisa hidup mandiri bertiga.

    Kalau berkenan, Saya mau bertanya mengenai pengurusan Visa resident Ka, untuk ikut suami study, apakah semua persyaratanya harus diterjemahkan ke bahasa Mandarin?

    Terimakasih sebelum 🙏

    BalasHapus

Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.